Jumat, 02 Januari 2015

Mo

Mo, aku dengar kabar dari Sri, sekarang kamu tak lagi bersamanya, benarkah itu, Mo? Kalau benar, aku sangat bersyukur atas perpisahanmu. Bukannya, aku sedang tertawa di atas penderitaanmu. Tapi kau tau sendirilah, bagaimana kejamnya perlakuan Sri terhadapmu. Aku sampai nggak tega, Mo, lihatnya. Sumprit, deh.

Sri Saat Mau Ultah



Sri itu memang baik, Mo. Dia tidak sombong, rajin menabung dan yang lebih hebat lagi dia sangat terkenal di jejaringan sosial maupun aliansi buruh migran Indonesia di Hongkong. Beberapa bulan lalu, sebelum dia memutuskan untuk hengkang dalam dunia perkungyanan di sini, aku sempat melihat serta bertatap muka dengan wajah Sri yang bunder seser itu, Mo. Dia jadi MC di perayaan Idul Fitri di kampung Jawa, Victory. Dengar suara si Sri nge-Mc sambil nyanyi-nyanyi membuat bulu romaku berdiri. MasyaAllah, Mo, suaranya itu lho mendayu-dayu bak artis Malaysia yang menyanyikan lagu rindu. Pantas saja kau sampai jatuh bangun bin termehek-mehek sama dia. Oh, iya, Sri juga sempat memberiku selembar sertifikat gegara aku menang kuis yang diadakan olehnya di Forum BMI loh, Mo. Tapi, sayangnya sertifikat itu bukan sertifikat rumah atau sertifikat tanah, kalau iya sih betapa pemurahnya dia pada kaum wanita ya, Mo. Ini cerita baiknya si Sri, Mo. Sewaktu dia mengadu nasib di sini. Tapi kok kenapa sama kamu justeru si Sri ini bencinya setengah mati sih, Mo? Apa yang telah kamu lakukan padanya, hah? Apa kau telah melukai hatinya hingga si Sri patah hati. Atau jangan-jangan kau telah mendua lagi? Huwala, Mo... Mo...  kejam sekali kau ini, selalu bergonta-ganti hati. Loncat ke sana, loncat ke sini. Sudah macam pocong kali kau. Pantas saja, Simboknya Sri selalu koar-koar kalau kamu itu wes dikek i ati sih ngrogoh rempelo (dikasih hati minta ampela). Eh, aku kok jadi berpikiran negatif ya, Mo, sol kamu. Padahal kan islam melarang umatnya untuk berzhu'uzon ria. Bisa digampar malaikat aku. Maaf ye, Mo.

Mo, tadi Yanti curhat padaku. Katanya kau kena tindak KDRT oleh si Sri? Eh, sejak kapan kalian nikah, Mo? Pan yang kutau kalian masih kumpul kebo. Eh... kamsudku kelet macam perangko. Dimanapun ada Sri di situ juga ada kamu. Maklum, kata si Yanti kalian ini sejoli yang sulit untuk dipisahkan. Putus nyambung nggak jelas tujuan. Bukan begitu, Mo? Yanti juga bilang, beberapa tahun lalu kau sempat diusir paksa dari dipan kayu yang statusnya sudah reot. Si Sri juga marah-marah karena kau telah menebar benih terlarang itu di mahkota paling berharga milik tetangga. Haiiiiis.... naluri binatangmu kenapa keluar sih, Mo? Coba kau sedikit mengendalikan nafsu sahwatmu, tentu Sri masih setia mencintaimu dan membiarkanmu menjelajahi setiap jengkal apa yang dia miliki. Kau ini, senengane kok puo-puo macam koruptor di Senayan.

Mencarimu, Mo


Mo, aku tak bisa mencari siapa yang benar dan salah di antara kalian. Aku sebagai manusia yang pernah kau jajaki dan singgahi saat umurku baru sepuluh, rasanya aku pun juga patut untuk marah padamu. Bukannya apa, kau telah dengan seenak udelmu terbang ke pundakku dan menyelinap di rerimbunan rambutku yang lebat. Membuat rambutku yang indah mempesona jadi banya Liso. Kau tak tau betapa gatalnya rambutku saat kau bertelur. Mamak sampai jibeg sendiri melihat ulahmu yang kelewat batas. Kau tau, Mo? Rambutku sampai dipangkas macam si Bob. Beugh trondol gitu kata orang. Itu semua gegara kamu menebar benih menyesatkan itu di rambutku. Aku sih fine-fine aja asal kau tak membuatku menjadi pesakitan dan terlihat seperti gembel jalanan yang tak terurus.

Oh, ya... Si Eni yang sekarang ada di Malaysia bersama suaminya, yang dulu juga pernah kau gauli hingga enam tahun lamanya, sekarang sudah hidup bahagia, Mo. Masih ingat dalam benak ini, saat kau dengan PEDEnya berkeliaran, berjalan ke sana ke mari, nyungsep lalu nongol lagi di balik rambutnya Eni saat pelajaran tiba. Turun lewat rambut kepangnya dan dengan seketika, si Eni memitesmu tanpa ampun. Darahmu muncrat, kau kejet-kejet tanda malaikat pencabut nyawa telah mengambil sukmamu. Huwala, Mo... itu semua membuatku bergidik ngeri. Tapi yang cukup membuatku aneh, kok ya bisa-bisanya kamu pindah ke desa Ponorogo tempat si Sri ini tinggal, Hah? Kau naik apa ke sana? Apa angin telah menerbangkan dan membelokkanmu ke rumah Sri? Aku benar-benar tak habis pikir dengan tolahmu itu, Mo... Terlalu Nylandit...heuh

Mo, aku tau kau sekarang sedang sakit hati. Sabar saja ya, Mo. Nasibmu memang tak seberuntung Su, yang di manapun berada selalu disayang orang. Aku pernah merasakannya kok, Mo. Dan para jomblo yang lain pun pernah merasakan rasanya sakit hati. Sakit saat melihat kekasih hati berjalan bersama orang lain. Ciuman di depan mata kita. Apalagi yang lebih heboh sekarang mereka nikah lakok kitanya diundang. Dan yang lebih gobloknya lagi kok masih juga mau datang pakai acara pelukan. Nyesek bener. Sakitnya itu memang benar-benar di sini, Mo. Menohok ke ulu hati. Fiuhhh.... Aku jadi emosi kan, Mo kalau bahas soal cinta.

Mo, kita sama-sama tabah aja ya. Sri emang baik bagi bangsanya. Tapi buruk bagi bangsamu. Kalau kau butuh darah segar milik bangsaku untuk menyambung hidup, pergilah ke PMI di kota terdekat yang bisa kau jangkau. Hisaplah kantong-kantong itu barang seteguk. Menyelinaplah ke selimut-selimut hangat untuk bersembunyi. Lalu, pulanglah ke habitatmu menjadi seekor Tumo yang senantiasa merindu akan kehadiran orang yang benar-benar tulus memberimu tempat bernaung.

Mo

Mo dan Bangsanya



Mo, terima kasih kau pernah jadi bagian dari hidupku. Kau, Tumo, inspirasi goresan penaku.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER