Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 22 Mei 2024

Di Tepi Kehilangan

Di sebuah kota kecil di pinggiran, hiduplah seorang pria bernama Adam. Dia adalah sosok yang hangat dan penuh kasih, selalu siap membantu orang lain dan memberikan senyumnya yang ramah kepada siapa pun yang dia temui. Hidupnya berubah ketika dia jatuh cinta pada seorang wanita bernama Sarah.


Sarah adalah cahaya di kegelapan Adam. Mereka saling melengkapi satu sama lain, dan setiap hari bersamanya adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Mereka berbagi impian, tertawa bersama, dan menemukan kedamaian dalam pelukan satu sama lain.


Namun, suatu hari, cahaya yang menyinari hidup Adam tiba-tiba padam. Sarah meninggalkannya tanpa kata-kata atau penjelasan. Adam terdampar di lautan kesepian yang gelap, merasa terputus dari dunia di sekitarnya. Malam-malam terasa lebih dingin, dan senyumnya yang hangat perlahan memudar.


Setiap hari, Adam duduk sendirian di tepi danau tempat mereka sering berjalan-jalan bersama. Dia memandang air yang tenang, membiarkan angin malam mengusap wajahnya yang penuh kekosongan. Rindu akan Sarah melanda hatinya seperti gelombang yang tak terkendali.


Pada suatu malam yang gelap, Adam menemukan dirinya terduduk di tepi danau, membiarkan air mata mengalir bebas. Dia merenung tentang masa lalu yang indah, tentang semua kenangan yang mereka bagi bersama. Namun, seiring waktu berlalu, Adam mulai menyadari bahwa dia tidak sendirian di dunia ini.


Meskipun Sarah pergi, ada masih banyak cahaya yang menyinari hidupnya. Ada teman-teman yang selalu ada di sampingnya, siap memberikan dukungan dan kehangatan. Ada hobi dan minat yang membuatnya merasa hidup kembali. Dan, yang paling penting, ada cinta dalam dirinya sendiri yang tetap menyala, meskipun cahaya itu mungkin tersembunyi sekarang.


Dengan setiap langkah yang dia ambil, Adam mulai menyembuhkan luka-lukanya. Dia belajar untuk menerima bahwa kehilangan adalah bagian dari hidup, tetapi itu tidak boleh menguasai dirinya sepenuhnya. Adam menemukan kekuatan dalam kesendirian, dan dia mulai melangkah maju dengan keyakinan bahwa di ujung kesepian itu, ada cahaya yang menunggu untuk ditemukan.


Dan meskipun hatinya masih terluka, Adam tahu bahwa dia akan bertahan. Dia akan terus maju, menghadapi kehidupan dengan keberanian dan harapan, karena dia tahu bahwa di balik kegelapan, selalu ada cahaya yang bersinar.


Waktu berlalu, tetapi bekas luka yang ditinggalkan oleh kepergian Sarah masih terasa dalam hati Adam. Setiap hari adalah sebuah perjuangan untuk bangun dari tempat tidur dan menghadapi dunia tanpa kehadiran yang biasa menemani. Namun, meskipun kesedihan itu melekat erat, Adam mulai menyadari bahwa hidup terus berjalan, dan dia harus berjalan bersamanya.


Dalam perjalanannya melewati kesepian, Adam menemukan dukungan yang tak terduga dari orang-orang di sekitarnya. Teman-teman lama dan baru datang mendekat, menawarkan telinga yang siap mendengar dan bahu yang siap menopang. Mereka mengingatkan Adam bahwa dia tidak sendirian dalam perjalanannya, dan ada cinta yang selalu ada di sekitarnya, meskipun mungkin tidak selalu terlihat.


Adam juga menemukan pelarian dalam hal-hal yang selalu membuatnya merasa hidup: seni, musik, dan alam. Dia menghabiskan waktu berkeliaran di taman-taman kota, menghirup udara segar, dan merenung di bawah sinar matahari. Dalam momen-momen seperti itu, Adam merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, sesuatu yang memberinya ketenangan dan keberanian untuk melangkah maju.


Namun, meskipun perlahan-lahan Adam mulai menemukan kedamaian dalam kesendirian, ada masih momen-momen di mana kesepian itu menyerangnya dengan kekuatan penuh. Malam-malam gelap di rumah kosongnya menjadi waktu yang paling sulit, ketika ingatan tentang Sarah merayap masuk ke dalam pikirannya dan menghantamnya seperti badai.


Tetapi di tengah-tengah kegelapan, Adam menemukan kilauan cahaya yang menyinari jalan ke depan. Dia belajar untuk menerima bahwa kehilangan adalah bagian dari perjalanan hidup, dan meskipun cinta pertamanya mungkin telah pergi, ada masih banyak cerita yang menunggu untuk ditulisnya. Ada kesempatan untuk bertemu orang-orang baru, mengeksplorasi hal-hal baru, dan menciptakan kisah hidup yang baru.


Dan dengan setiap langkah yang dia ambil, Adam mulai memahami bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang ditemukan di luar, tetapi ada di dalam dirinya sendiri. Dia belajar untuk mencintai dirinya sendiri, dengan semua kekurangan dan kelebihannya, dan menyadari bahwa hanya dengan memiliki dirinya sendiri yang utuh, dia bisa menemukan kedamaian sejati.


Jadi, sambil melangkah maju, Adam membawa dengan dia kenangan tentang cinta yang pernah ada, tetapi juga harapan untuk masa depan yang cerah. Dia tahu bahwa di ujung kesepian, selalu ada cahaya yang bersinar, menunggu untuk memandunya pulang. Dan dengan tekad yang kuat dan hati yang penuh harapan, Adam melanjutkan perjalanannya, siap untuk menemukan cahaya di balik kegelapan, siap untuk menulis bab baru dari kisah hidupnya.


Meskipun badai kesepian masih terkadang menghantamnya, Adam mulai merangkul kehidupan dengan penuh semangat dan harapan baru. Dia belajar untuk menghargai setiap momen, baik yang indah maupun yang sulit, sebagai bagian dari perjalanan menuju kedewasaan dan penerimaan diri.


Suatu hari, di tengah-tengah musim semi yang segar, Adam menyadari bahwa dia telah menemukan kedamaian sejati dalam dirinya sendiri. Dia melihat ke belakang dengan penuh rasa syukur akan semua yang telah dia alami dan diajarkan oleh cinta dan kehilangan. Dan di sana, di bawah sinar matahari yang hangat, Adam merasa dihadiahi dengan perasaan kedamaian yang luar biasa.


Ketika langit senja melukis warna-warni di cakrawala, Adam menemukan dirinya kembali di tepi danau, tempat di mana perjalanan pribadinya dimulai. Dia menghela nafas dalam-dalam, membiarkan udara segar mengisi paru-parunya, dan membiarkan pikirannya melayang bebas di awan-awan. Dia merasakan kehadiran Sarah di sampingnya, bukan dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk kenangan yang indah yang akan selalu dia simpan di dalam hatinya.


Dan di saat itu, di bawah cahaya senja yang mempesona, Adam merasa penuh rasa syukur akan hidupnya. Dia merasa dihargai atas setiap rasa sakit dan setiap kegembiraan yang telah dia alami. Dan dengan mata yang dipenuhi dengan air mata kebahagiaan, Adam mengetahui bahwa dia siap untuk membuka bab baru dari kisah hidupnya.


Dia mengangkat wajahnya ke langit yang tak terbatas, merasakan kehadiran cinta yang lebih besar dari dirinya sendiri. Dan di dalam hatinya, Adam tahu bahwa di ujung setiap kesepian, selalu ada cahaya yang menunggu untuk memandunya pulang.


Maka, dengan langkah yang mantap dan hati yang penuh harapan, Adam melangkah maju menuju masa depan yang cerah. Dia tahu bahwa perjalanan hidupnya mungkin akan diwarnai dengan tantangan dan kejutan, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak akan pernah sendirian. Karena di dalam dirinya, dia membawa dengan dia kekuatan, keberanian, dan cinta yang tak terbatas, yang akan membimbingnya melalui setiap langkah perjalanan yang akan datang.


Dan saat Adam melangkah pergi, mentari terbenam di balik gunung, meninggalkan langit yang berwarna-warni di belakangnya. Dan dalam cahaya senja yang mempesona itu, Adam menemukan cinta, kedamaian, dan kebahagiaan yang selalu dia cari.


Dan di sana, di tepi kehilangan, Adam menemukan arti sejati dari kehidupan.


Sebuah akhir yang indah, penuh dengan harapan dan kesadaran akan kekuatan dalam kesendirian, dan keyakinan akan cahaya di balik setiap kegelapan.

Readmore → Di Tepi Kehilangan

Minggu, 14 Juni 2020

SORE

Hari ini, aku mencuri waktu untuk bertemu denganmu. Kamu tau? ini tak mudah untuk dilakukan. Aku harus memastikan Mama tak jatuh dan tetap tenang selama kepergianku. Janjiku padanya untuk segera pulang harus kutepati. Satu jam kataku pada anaknya yang tengah rebahan di ranjang. 

Gor, langit rasanya tak begitu bersahabat untuk kita berjumpa, sore ini.  Mega mendung mengabu sedari siang. Sesekali menderas. Menumpahkan segala kepedihan yang menggupal di sana.  Aku tau kamu menahan senyum termanismu saat tau aku berlarian menerjang gerimis, menghampirimu di seberang jalan tak jauh dari MTR. Kamu nampak gagah dengan stelan kemeja yang kupilihkan minggu lalu. 



"Tak perlu terburu-buru," katamu sambil membenarkan letak kacamata minusmu. 

“Aku harus segera pulang,” kataku. 

“Hey, belum ada satu jam. Aku akan mentraktirmu sore ini. Temani aku sebentar saja,” katamu memelas. 

Ada rasa rindu yang terpancar dari sudut matamu. Aku pun sama. Ada rindu yang membuncah, sengaja ku tahan sejak seminggu ini untukmu. Tak ada salahnya, satu jam saja menemanimu makan. Toh, aku juga lapar. Akhirnya, Aku pun mengangguk.

Kamu dengan cepat meraih jemariku. Menggenggamnya erat. Sial, aku malu sekali. Ah, tidak. Lebih tepatnya hatiku merasa Bahagia saat ini. Tak ada seorang lelaki pun yang mau menggenggam tanganku duluan. Ya, mungkin mereka kurang peka. Hanya kamu. Iya, kamu yang paling romantic di antara lelaki itu. 

Sepuluh menit, waktu terlewat. Tak ada pembahasan khusus di antara kita. Semua mengalir seperti biasa. Mungkin, inilah yang selama ini aku mau. Cinta tanpa tuntutan. Tanpa paksaan. 

“Gimana kerjaan hari ini? Kamu terlihat lelah,” tanyamu sembari memberiku eskrim rasa coklat kesukaanku. 

“Tak begitu baik,” aku mendengus pelan. 

“Kamu tak harus memaksakan semuanya berjalan dengan baik, bukan?” katamu. 
“Aku hanya tak ingin ada kesalahan. Itu saja.”

“Kesalahan dalam hidup akan selalu ada. Kamu hanya perlu mengoreksi kesalahan itu dan berusaha berbuat yang terbaik sebisamu.”

Aku mengangguk. Menyetujui pendapatmu. 

Gor, entah kenapa, Kamu selalu bisa mendamaikan perasaanku. Sungguh, rasanya ada sebah yang menyumbat jalur pernafasanku. Sesak sekali. Aku tak sedang baik. Mungkin kamu merasakan itu.  

“Pulang dan tidurlah. Semua akan membaik esok. Jika tak membaik juga, aku akan mengajakmu dan Mama jalan-jalan. Kita kencan bertiga,” katamu sambil nyengir. 

Aku tersenyum mendengar candaanmu. Kamu selalu bisa membuat hatiku Kembali membaik. Dan bertemu denganmu sore ini, mungkin adalah rencana Tuhan agar aku tetap bahagia.

 Gor, terima kasih sudah datang. Sore ini, aku tak merasa sendiri. 


Readmore → SORE

Selasa, 10 Desember 2013

Cerpen Untuk Sebuah Janji

Tiba-tiba langkah ku terhenti di sini, di tempat terakhir kali melepasnya pergi, belasan tahun lalu. Pemandangan yang sama masih jua terasa. Sebuah bangku kayu yang dulu bercat kuning masih nampak sama namun setengah lapuk termakan usia. Sebatang pohon beringin yang berdiri di samping bangku itu masih jua kokoh walau tak kuketahui sudah berapa abad lamanya pohon itu berdiri di tempatnya.

Sekilas, kutengadahkan wajahku menatap mega yang sedari tadi murung, menantang rerintik hujan yang mulai menetes dari kanvas cakrawala. Banyak orang bilang saat kita menangis dalam hujan maka takkan ada sesiapa pun yang akan mengetahuinya.

'' Menangislah jika kau ingin menangis karna menangis akan melegakan hati mu'', bisikan itu pun terus terngiang dalam benakku setiap kali hujan turun, seperti saat ini.

Aku terus menantang rintik hujan yang sedikit demi sedikit menghantam jiwaku, meleburkan segala asa yang telah lalu . Tak peduli sudah berapa kali gemuruh halilintar menggelegar, berselang seling bersamaan dengan kilatnya. Tak peduli pula tatapan-tatapan aneh menyoroti diriku. ''Hentikan memandangiku...! Biarkan aku mengenangnya untuk yang terakhir kali ...'', jeritku dalam hati. Aku terduduk dalam tangis, kupejamkan mata dan mencoba mengingat kenangan masa lalu yang enggan beranjak dari ingatan ku akhir-akhir ini.

***

'' Kenapa kau Nad? '', sebuah tepukan ringan dari seorang pria yang ku tunggu membuyarkan imajinasiku tentang pria ini. `

Ryan Prayoga, begitulah namanya. Pria berkacamata minus dengan tas punggung yang masih di pundaknya itu langsung duduk di sebelahku, di sebuah bangku kayu tempat biasa kami bertemu usai pulang sekolah . 

Aku hanya menggelengkan kepala dan segera menutup buku gambar yang ada dipangkuanku. Ryan hanya tersenyum melihat tingkahku yang gelagapan saat dia duduk berdekatan denganku. Tak biasanya Ryan seintim ini padaku. Kupandangi matanya lekat-lekat, ada kilatan yang tersembunyi dalam bening netranya. Seketika aku berhenti bernafas, saat tiba-tiba Ryan mencium bibirku. 

Lama. Ini pertama kalinya Ryan menciumku. Ada kehangatan yang tak pernah kurasa sebelumnya bersama pria ini. Rasa damai begitu menyeruak dalam jiwa ku. "Mungkinkah ini yang disebut cinta?" Kupejamkan mata menikmati sensasi indah dunia ini. Jantungku serasa berhenti berdetak. Sungguh indah. 

"Sebenarnya aku tak ingin jarak memisahkan kita Nad'', katanya sesaat setelah menciumku.

 Ryan bangkit dari tempatnya duduk, dia berjalan mengahmpiri danau sembari mengambil batu-batu kerikil yang ada disekitar danau. Lalu, melemparkannya ke tengah danau yang ada di hadapan kami. Bunyi buihnya seirama dengan detak jantungku, ada rasa yang mengembang bagai gelombang, namun aku tak tau bagaimana menetralisirnya. Perasaan ini begitu berkecamuk dalam hatiku. Dan aku hanya mampu diam ditempatku.

 '' Orang tua ku memutuskan pindah ke Papua untuk menuruskan tambang batu bara milik Eyang. Kau tau Nad, ini sangat berat bagiku'', lanjutnya yang tak lagi membuang batu kerikil ke danau. 

Aku menatapnya dalam diam, bibirku kelu tak bisa berkata. Ryan tersenyum getir. Aku tau dia terluka. Sama seperti hatiku saat ini, bagai ada ribuan jarum yang menusuk dada, meluncur ke ulu hati yang terdalam. 

'' Tik... Tik... Tik...'',

Rerintik hujan tiba-tiba berjatuhan dari puncak cakrawala. Aku segera berdiri dari tempatku tapi tiba-tiba tangan Ryan menahanku. Dia hanya menggelengkan kepala dan memberikan isyarat agar tetap di tempatku. Hujan makin deras mengguyur aku dan Ryan namun tetap saja Ryan tak melepaskan tanganku dari genggamanya, selang beberapa saat Ryan menarikku dalam peluknya. 

Dia menangis di pundakku, aku hanya bisa terpaku tanpa kata. Dadaku sesak, ingin rasanya membalas peluknya namun aku tak mampu. Satu jam berlalu tanpa kata, hujan masih saja mengguyur kami. Tak ada kata selain dekapan hangat darinya. Lalu, Ryan menggandeng tanganku menuju ke sebuah pohon beringin yang sedari tadi menjadi penonton paling setia ditempat ini. Ryan mengeluarkan pisau lipatnya, mengukir sebuah tanda cinta yang di tengahnya bertuliskan nama kami. 

'' Tunggulah aku Nad, aku pasti kembali untukmu. Jika kau tau kekuatan cinta sejati, dia akan kembali sejauh dia melangkah pergi'', kata Ryan parau.

 Ryan mengakhiri ukirannya pada pohon beringin ini. Dia kembali menatapku dan menelangkup wajahku dengan kedua tangannya. Airmata yang sedari tadi ku bendung, akhirnya tumpah jua lewat kedua ujung mataku. Ryan mengusapnya dengan kedua Ibu jarinya dan sekali lagi dia menciumku. Aku benar-benar larut dalam keadaan ini. Berat rasa hati melepasnya pergi tapi aku juga tak tau harus berbuat apa? 

*** 

Kini usia ku sudah dua puluh delapan tahun. Sudah belasan tahun kiranya Ryan pergi dari pandanganku. Sudah belasan tahun pula tak ku dengar kabar darinya. "Bodohnya aku yang terus saja menunggu", rintihku dalam tangis. 

Walau sudah kerap kali mencoba dan memberi ruang pada orang-orang disekitarku, hatiku tetap tak bisa berpaling darinya. Sosok Ryan begitu kuat merasuk dalam jiwaku, memenuhi setiap rongga dalam ragaku. Buliran kristal seakan tak mau berhenti mengalir dari ujung mataku, bercampur luruh bersama derasnya hujan yang masih jua menangis dari puncak cakrawala. Cinta itu membungkamku dalam lembah tanpa batas. Memberikan guratan kerinduan dalam setiap jengkal penantian. Ada segerumbulan rasa yang tiba-tiba menyergap jiwa tapi tak ku ketahui dari mana asalnya. 

'' Nadira'', gema suara yang ku kenal itu memanggilku. Lirih. 

Ku dongakkan kepala dan ku lihat sesosok pria berkacamata tengah berdiri dihadapanku. Pria yang ku kenal tapi sedikit berubah, tampilannya tak seperti dulu, terlihat maskulin ku rasa. Sejenak, hatiku bimbang. 

Bernarkah dia Ryan ? Pria yang selama ini ku tunggu. 

'' Kau tak mengingatku Nad, aku Ryan'', lanjutnya. 

Mataku sedikit membulat mendengar nama itu. Adrenalinku berpacu lebih cepat dari biasanya. Aku masih terduduk di tempatku, rasa nyeri masih menguasai diriku. '' Rrrrryan...'', kataku setengah tak percaya. 

''Jika kau tau kekuatan cinta sejati, dia akan kembali sejauh dia melangkah pergi'', katanya sambil medekat kearahku. 

Ryan membantu ku bangkit dari tempatku lalu dia memelukku erat, sangat erat. Janji yang dulu pernah dia ucapkan sebelum kepergiannya kini terulang kembali. Rindu itu akhirnya terbalas jua. 

Hari ini, di saat hujan turun, saat gelegar halilintar menyambar-nyambar, kejadian yang sama begitu jelas tergambar. Meleburkan penantian yang selama ini ku nanti. Ini lah kekuatan cinta yang sebenarnya. Tak ada yang bisa memisahkan keagungan cinta tanpa kehendakNya.Untuk sebuah janji, cinta itu kembali. Mengisi relung hati yang sempat kosong dan gersang tanpa aliran rasa. Sebuah janji yang mengikat jiwa yang tak kan luruh tergerus masa. Andai pohon beringin dan bangku tua ini dapat berbicara mungkin mereka juga akan turut bahagia bersama kami . Seperti rasaku saat ini, tentang kepercayaan akan sebuah janji.




Readmore → Cerpen Untuk Sebuah Janji

Featured Post

Liburan ke Kota buat liat puisi doang