Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Juni 2020

SORE

Hari ini, aku mencuri waktu untuk bertemu denganmu. Kamu tau? ini tak mudah untuk dilakukan. Aku harus memastikan Mama tak jatuh dan tetap tenang selama kepergianku. Janjiku padanya untuk segera pulang harus kutepati. Satu jam kataku pada anaknya yang tengah rebahan di ranjang. 

Gor, langit rasanya tak begitu bersahabat untuk kita berjumpa, sore ini.  Mega mendung mengabu sedari siang. Sesekali menderas. Menumpahkan segala kepedihan yang menggupal di sana.  Aku tau kamu menahan senyum termanismu saat tau aku berlarian menerjang gerimis, menghampirimu di seberang jalan tak jauh dari MTR. Kamu nampak gagah dengan stelan kemeja yang kupilihkan minggu lalu. 



"Tak perlu terburu-buru," katamu sambil membenarkan letak kacamata minusmu. 

“Aku harus segera pulang,” kataku. 

“Hey, belum ada satu jam. Aku akan mentraktirmu sore ini. Temani aku sebentar saja,” katamu memelas. 

Ada rasa rindu yang terpancar dari sudut matamu. Aku pun sama. Ada rindu yang membuncah, sengaja ku tahan sejak seminggu ini untukmu. Tak ada salahnya, satu jam saja menemanimu makan. Toh, aku juga lapar. Akhirnya, Aku pun mengangguk.

Kamu dengan cepat meraih jemariku. Menggenggamnya erat. Sial, aku malu sekali. Ah, tidak. Lebih tepatnya hatiku merasa Bahagia saat ini. Tak ada seorang lelaki pun yang mau menggenggam tanganku duluan. Ya, mungkin mereka kurang peka. Hanya kamu. Iya, kamu yang paling romantic di antara lelaki itu. 

Sepuluh menit, waktu terlewat. Tak ada pembahasan khusus di antara kita. Semua mengalir seperti biasa. Mungkin, inilah yang selama ini aku mau. Cinta tanpa tuntutan. Tanpa paksaan. 

“Gimana kerjaan hari ini? Kamu terlihat lelah,” tanyamu sembari memberiku eskrim rasa coklat kesukaanku. 

“Tak begitu baik,” aku mendengus pelan. 

“Kamu tak harus memaksakan semuanya berjalan dengan baik, bukan?” katamu. 
“Aku hanya tak ingin ada kesalahan. Itu saja.”

“Kesalahan dalam hidup akan selalu ada. Kamu hanya perlu mengoreksi kesalahan itu dan berusaha berbuat yang terbaik sebisamu.”

Aku mengangguk. Menyetujui pendapatmu. 

Gor, entah kenapa, Kamu selalu bisa mendamaikan perasaanku. Sungguh, rasanya ada sebah yang menyumbat jalur pernafasanku. Sesak sekali. Aku tak sedang baik. Mungkin kamu merasakan itu.  

“Pulang dan tidurlah. Semua akan membaik esok. Jika tak membaik juga, aku akan mengajakmu dan Mama jalan-jalan. Kita kencan bertiga,” katamu sambil nyengir. 

Aku tersenyum mendengar candaanmu. Kamu selalu bisa membuat hatiku Kembali membaik. Dan bertemu denganmu sore ini, mungkin adalah rencana Tuhan agar aku tetap bahagia.

 Gor, terima kasih sudah datang. Sore ini, aku tak merasa sendiri. 


Readmore → SORE

Selasa, 10 Desember 2013

Cerpen Untuk Sebuah Janji

Tiba-tiba langkah ku terhenti di sini, di tempat terakhir kali melepasnya pergi, belasan tahun lalu. Pemandangan yang sama masih jua terasa. Sebuah bangku kayu yang dulu bercat kuning masih nampak sama namun setengah lapuk termakan usia. Sebatang pohon beringin yang berdiri di samping bangku itu masih jua kokoh walau tak kuketahui sudah berapa abad lamanya pohon itu berdiri di tempatnya.

Sekilas, kutengadahkan wajahku menatap mega yang sedari tadi murung, menantang rerintik hujan yang mulai menetes dari kanvas cakrawala. Banyak orang bilang saat kita menangis dalam hujan maka takkan ada sesiapa pun yang akan mengetahuinya.

'' Menangislah jika kau ingin menangis karna menangis akan melegakan hati mu'', bisikan itu pun terus terngiang dalam benakku setiap kali hujan turun, seperti saat ini.

Aku terus menantang rintik hujan yang sedikit demi sedikit menghantam jiwaku, meleburkan segala asa yang telah lalu . Tak peduli sudah berapa kali gemuruh halilintar menggelegar, berselang seling bersamaan dengan kilatnya. Tak peduli pula tatapan-tatapan aneh menyoroti diriku. ''Hentikan memandangiku...! Biarkan aku mengenangnya untuk yang terakhir kali ...'', jeritku dalam hati. Aku terduduk dalam tangis, kupejamkan mata dan mencoba mengingat kenangan masa lalu yang enggan beranjak dari ingatan ku akhir-akhir ini.

***

'' Kenapa kau Nad? '', sebuah tepukan ringan dari seorang pria yang ku tunggu membuyarkan imajinasiku tentang pria ini. `

Ryan Prayoga, begitulah namanya. Pria berkacamata minus dengan tas punggung yang masih di pundaknya itu langsung duduk di sebelahku, di sebuah bangku kayu tempat biasa kami bertemu usai pulang sekolah . 

Aku hanya menggelengkan kepala dan segera menutup buku gambar yang ada dipangkuanku. Ryan hanya tersenyum melihat tingkahku yang gelagapan saat dia duduk berdekatan denganku. Tak biasanya Ryan seintim ini padaku. Kupandangi matanya lekat-lekat, ada kilatan yang tersembunyi dalam bening netranya. Seketika aku berhenti bernafas, saat tiba-tiba Ryan mencium bibirku. 

Lama. Ini pertama kalinya Ryan menciumku. Ada kehangatan yang tak pernah kurasa sebelumnya bersama pria ini. Rasa damai begitu menyeruak dalam jiwa ku. "Mungkinkah ini yang disebut cinta?" Kupejamkan mata menikmati sensasi indah dunia ini. Jantungku serasa berhenti berdetak. Sungguh indah. 

"Sebenarnya aku tak ingin jarak memisahkan kita Nad'', katanya sesaat setelah menciumku.

 Ryan bangkit dari tempatnya duduk, dia berjalan mengahmpiri danau sembari mengambil batu-batu kerikil yang ada disekitar danau. Lalu, melemparkannya ke tengah danau yang ada di hadapan kami. Bunyi buihnya seirama dengan detak jantungku, ada rasa yang mengembang bagai gelombang, namun aku tak tau bagaimana menetralisirnya. Perasaan ini begitu berkecamuk dalam hatiku. Dan aku hanya mampu diam ditempatku.

 '' Orang tua ku memutuskan pindah ke Papua untuk menuruskan tambang batu bara milik Eyang. Kau tau Nad, ini sangat berat bagiku'', lanjutnya yang tak lagi membuang batu kerikil ke danau. 

Aku menatapnya dalam diam, bibirku kelu tak bisa berkata. Ryan tersenyum getir. Aku tau dia terluka. Sama seperti hatiku saat ini, bagai ada ribuan jarum yang menusuk dada, meluncur ke ulu hati yang terdalam. 

'' Tik... Tik... Tik...'',

Rerintik hujan tiba-tiba berjatuhan dari puncak cakrawala. Aku segera berdiri dari tempatku tapi tiba-tiba tangan Ryan menahanku. Dia hanya menggelengkan kepala dan memberikan isyarat agar tetap di tempatku. Hujan makin deras mengguyur aku dan Ryan namun tetap saja Ryan tak melepaskan tanganku dari genggamanya, selang beberapa saat Ryan menarikku dalam peluknya. 

Dia menangis di pundakku, aku hanya bisa terpaku tanpa kata. Dadaku sesak, ingin rasanya membalas peluknya namun aku tak mampu. Satu jam berlalu tanpa kata, hujan masih saja mengguyur kami. Tak ada kata selain dekapan hangat darinya. Lalu, Ryan menggandeng tanganku menuju ke sebuah pohon beringin yang sedari tadi menjadi penonton paling setia ditempat ini. Ryan mengeluarkan pisau lipatnya, mengukir sebuah tanda cinta yang di tengahnya bertuliskan nama kami. 

'' Tunggulah aku Nad, aku pasti kembali untukmu. Jika kau tau kekuatan cinta sejati, dia akan kembali sejauh dia melangkah pergi'', kata Ryan parau.

 Ryan mengakhiri ukirannya pada pohon beringin ini. Dia kembali menatapku dan menelangkup wajahku dengan kedua tangannya. Airmata yang sedari tadi ku bendung, akhirnya tumpah jua lewat kedua ujung mataku. Ryan mengusapnya dengan kedua Ibu jarinya dan sekali lagi dia menciumku. Aku benar-benar larut dalam keadaan ini. Berat rasa hati melepasnya pergi tapi aku juga tak tau harus berbuat apa? 

*** 

Kini usia ku sudah dua puluh delapan tahun. Sudah belasan tahun kiranya Ryan pergi dari pandanganku. Sudah belasan tahun pula tak ku dengar kabar darinya. "Bodohnya aku yang terus saja menunggu", rintihku dalam tangis. 

Walau sudah kerap kali mencoba dan memberi ruang pada orang-orang disekitarku, hatiku tetap tak bisa berpaling darinya. Sosok Ryan begitu kuat merasuk dalam jiwaku, memenuhi setiap rongga dalam ragaku. Buliran kristal seakan tak mau berhenti mengalir dari ujung mataku, bercampur luruh bersama derasnya hujan yang masih jua menangis dari puncak cakrawala. Cinta itu membungkamku dalam lembah tanpa batas. Memberikan guratan kerinduan dalam setiap jengkal penantian. Ada segerumbulan rasa yang tiba-tiba menyergap jiwa tapi tak ku ketahui dari mana asalnya. 

'' Nadira'', gema suara yang ku kenal itu memanggilku. Lirih. 

Ku dongakkan kepala dan ku lihat sesosok pria berkacamata tengah berdiri dihadapanku. Pria yang ku kenal tapi sedikit berubah, tampilannya tak seperti dulu, terlihat maskulin ku rasa. Sejenak, hatiku bimbang. 

Bernarkah dia Ryan ? Pria yang selama ini ku tunggu. 

'' Kau tak mengingatku Nad, aku Ryan'', lanjutnya. 

Mataku sedikit membulat mendengar nama itu. Adrenalinku berpacu lebih cepat dari biasanya. Aku masih terduduk di tempatku, rasa nyeri masih menguasai diriku. '' Rrrrryan...'', kataku setengah tak percaya. 

''Jika kau tau kekuatan cinta sejati, dia akan kembali sejauh dia melangkah pergi'', katanya sambil medekat kearahku. 

Ryan membantu ku bangkit dari tempatku lalu dia memelukku erat, sangat erat. Janji yang dulu pernah dia ucapkan sebelum kepergiannya kini terulang kembali. Rindu itu akhirnya terbalas jua. 

Hari ini, di saat hujan turun, saat gelegar halilintar menyambar-nyambar, kejadian yang sama begitu jelas tergambar. Meleburkan penantian yang selama ini ku nanti. Ini lah kekuatan cinta yang sebenarnya. Tak ada yang bisa memisahkan keagungan cinta tanpa kehendakNya.Untuk sebuah janji, cinta itu kembali. Mengisi relung hati yang sempat kosong dan gersang tanpa aliran rasa. Sebuah janji yang mengikat jiwa yang tak kan luruh tergerus masa. Andai pohon beringin dan bangku tua ini dapat berbicara mungkin mereka juga akan turut bahagia bersama kami . Seperti rasaku saat ini, tentang kepercayaan akan sebuah janji.




Readmore → Cerpen Untuk Sebuah Janji

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER