Senin, 30 Desember 2013

Jumat, 27 Desember 2013

Sepatuku


Masih ingat dengan sepatu Pro Art. Sepatu jaman dahulu kala. Nggak tau sih sekarang masih ada atau nggak. Gambar itu dapat inspirasi dari sebuah seksa. Lalu aku gambar ulang. Walau hasilnya nggak sama kayak aslinya. Ya, itung -itung belajar. Saat Lau mulai menggambarnya, aku teringat seauatu. Sepatu ini mirip punya ku dulu saat pertama kali menginjakkan kaki di negeri BETON. Bukan isinya buah nangka loh. Lagi bt nulis kapan -kapan aku edit ulang
Readmore → Sepatuku

Senin, 16 Desember 2013

I miss U


Aku merindukanmu cinta Tak taukah engkau aku disini menanti Mengharapmu kembali Walau mungkin takkan pernah terjadi Hidup ini penuh penekanan cinta Kau tau tak mudah memendam rasa Ingin sekali berteriak Tapi aku tak mampu
Readmore → I miss U

Rabu, 11 Desember 2013

sketsa


Menggambar itu sesuatu yang menenangkan
Readmore → sketsa

Saat Kau Pergi


Pagi ini di awal musim dingin
Readmore → Saat Kau Pergi

kedamaian di wajahmu


6 Desember 2013 Pengen banget ngelukis wajahmu my lovely. Tapi sayang, aku hanya mampu melukismu dalam hatiku. I love U so Much
Readmore → kedamaian di wajahmu

Goresan Rindu


Indahnya dalam balutan Pena
Gambar keduaku walau tak sempurna aslinya Serenade Rinduku padamu Aku ingin seperti ilalang Yang terlihat rapuh namun cukup mengagumkan Pabila jiwaku tercabut Aku pasti akan tumbuh dari akar - akar lainnya
Readmore → Goresan Rindu

Selasa, 10 Desember 2013

Dandelion


Cerpen pertamaku yang pernah terbit di sebuah surat kabar berbahasa Indonesia di Hongkong. Sebuah inspirasi dari J - mantan temanku. Selamat membaca


     Rerintik hujan masih saja tercurah dari angkasa. Menyisakan butiran-butiran bening yang menghiasi kaca jendela. Dingin, sepi dan senyap, sepintas sepoi angin menyapa jiwa yang kian membeku. Aroma lembab begitu kental terasa, hampa tanpa hadir sosoknya, sosok pria yang sebulan ini telah pergi meninggalkanku dengan alasan yang tak jelas.

      Terdiam diatas tumpukan kertas, mencoba mengukir kata menggoreskan makna tapi sia-sia, aku tak bisa menulisnya. Tanganku serasa menggigil, bukan karena dingin yang menyapa melainkan bayangan pria yang kurindu tengah menari-nari dipelupuk mataku, menyisakan pedih yang teramat mendalam setiap kali membayangkan kata-kata pria itu yang menyuruhku pergi dan melupakannya untuk selamanya.

 ''Apa aku bisa dengan mudah melupakan sosoknya yang telah bersamaku setahun ini, bukankah itu hal yang sangat mustahil ku lakukan?'', rintihku dalam sepi.

   Sudah beberapa hari aku tak tidur hanya karna memikirkan pria itu, sikapnya begitu membuatku terpukul, ''Beginikah cara lelaki menggoreskan belatinya pada hati wanita? '', batinku dalam hati. Setitik airmata mengalir membasahi pipiku. Membuat mataku yang sipit bertambah sipit. Aku tak pernah merasa dunia sekejam ini sebelumnya, setidaknya sebelum aku mengenal Tian, pria yang berbeda akidah denganku.

   Cinta itu memang kejam, menumbuhkan rasa ditempat yang tak semestinya tumbuh. Kuakui aku menyukainya tapi pertentangan itu membuatku bingung haruskah hubungan ini berlanjut atau harus kurelakan hanyut bersama kenangan indah bersamanya.

                                       ***

 Pagi ini hujan telah mereda, menyisakan buih pada dedaunan dan kuncup-kuncup bunga. Aroma lembab juga masih terasa, tak ada sinar mentari karna mendung belum juga beringsut pergi. Menikmati pagi bersama nyanyian pipit dan semak ilalang yang bergoyang oleh siualan angin. Dingin, masih jua terasa menjalar ke dasar hatiku. Kusambut pagi tanpa sapanya lagi, tulisan yang kurindu dan celoteh yang selalu ku tunggu. Kini hilang, tenggelam bersama sosoknya. Ku langkahkan kaki menghirup udara segar di taman, mencoba menghapus semua kenangan tentang Tian, walau tak kesemuanya mampu kuhapus. Aku masih membayangkan sosok Tian dis ini, di sampingku sambil menceritakan kehidupan di luar sana, miris memang tak kutemukan sosoknya dalam bayanganku.

 '' Pagi Nona ? '' sapa seorang lelaki yang tak ku kenal dan nyaris membuat jantungku copot.

 '' Ini ada sebuah bingkisan dari seseorang untuk Nona '', lanjutnya sambil menyerahkan karangan bunga Dandelion dan sekotak makanan. Aku terdiam menatap pria itu, dia hanya tersenyum dan melangkah pergi tanpa menghiraukan ucapan terima kasih dariku. Ku tatap kembali karangan dandelion dan sepucuk surat di dalamnya.

  Dear, 

 Aku merindukanmu lebih dari biasanya, sungguh aku tak mampu menjalani hidup seperti ini, kau tau aku tersiksa mungkin kau juga merasa hal yang sama. Setiap aku menatap dandelion-dandelion itu aku selalu mengingatmu. Aku sengaja memetiknya sendiri pada hamparan ilalang di tengah sawah, kau tau itu tak mudah bagiku.Oh ya,jangan lupa makan nasi goreng itu, aku membuatnya kusus untukmu, tanpa telur tentunya. Salam sayangku

 Tian 

 Air mataku berguguran setelah membaca pesannya. Pria itu masih merindukanku, masih merasakan hal yang sama dengan apa yang ku rasa saat ini. '' Ah,Tian '', isakku lirih sambil memeluk karangan bunga dandelion.

 ***

 Tiga bulan berlalu begitu cepat sejak perpisahanku dengan Tian, aku mulai terbiasa tanpanya disampingku. Kunikmati hidup dengan penuh suka cita bersama karangan bunga dandelion yang Tian kirimkan tiga bulan lalu, beruntung aku menemukan cara untuk membuatnya keras dan tak bisa layu. Kutatapi karangan dandelion yang menghias di samping jendela. Sekarang tak ada angin yang bisa menerbangkanya dengan mudah. Tak ada yang bisa melepaskan anak-anak dandelion dari ibunya. Ya, bunga dandelion nampak begitu indah dan aku sangat menyukainya, di luar nampak rapuh namun tersimpan ketegaran yang cukup kuat bagi seputik dandelion.

 '' Dretz, Dretz'', getar ponselku menyadarkanku dari lamunanku bersama dandelion. Kubaca isi pesan dari nomor yang tak kukenal itu dengan seksama.

 '' Deg'', degub jantungku serasa berhenti seketika. ''Tian koma'', baris terakhir dari pesan singkat itu. Tanpa pikir panjang aku berlari pergi dari rumah menuju ke sebuah alamat yang dikirimkan oleh orang yang tak kukenali tadi.

Butuh waktu satu jam untuk sampai ke Solo, alamat yang ditunjukkan orang yang tak kukenali lewat pesan singkatnya. Perasaan kawatir begitu menyerbak dalam jiwaku. Akhirnya setelah berputar-putar keliling kompleks kutemukan juga alamat rumah yang tertera dalam pesan singkat tadi. Rumah ini tampak sederhana di halaman depan rumahnya tampak bertebaran bunga Dandelion, bunga kesayanganku.

 '' Silahkan masuk Nona '', kata seorang pria dari arah belakangku. Pria ini yang tiga bulan lalu menemuiku di taman samping rumah. Kuikuti langkah pria ini memasuki rumah yang bertaburan dandelion, tak ada satu bunga pun kecuali dandelion. Di dalam rumahnya pun bertebaran dandelion berkaca, sungguh pemandangan yang mendamaikan hati.

 '' Silahkan masuk Nona'', kata pria ini sambil membukakan pintu. Pemandangan yang sungguh menyesakkan hati, pria yang ku sayangi tergeletak lemas tak berdaya, wajahnya begitu pucat, tak ada senyum yang menghias diwajahnya.

 '' Tian '', batinku pedih. Kuberanikan langkahku menghampirinya, pria tadi meninggalkanku berdua bersama Tian. Mataku berkaca-kaca melihatnya, pria ini tetap tampan dalam keadaan apapun. Butiran bening menyembur dari pelupuk mataku. Aku terdiam dan menangis cukup lama, ini salahku karna tak memahami keinginanya.

 '' Tian '', tangisku kian membuncah.

 '' Hey aku nggak papa, kenapa kau menangis ?'', katanya tiba-tiba, lalu dia pun bangun dan duduk bersender di ranjang. Mataku mengerjap-ngerjap tak percaya, bagaimana bisa manusia yang sedang koma bangun dan menggerakkan tubuhnya dengan mudah layaknya manusia tanpa penyakit, bukankah itu hal yang sangat aneh ? kuusap kedua mataku untuk meyakinkan aku tak sedang bermimpi.

 '' Hei.... kau kenapa? Ada yang aneh dengan diriku ? '', lanjutnya sambil tertawa renyah. Aku diam beberapa saat, Tian pun akhirnya ikut diam memandangiku. '' Hei...... Aku hanya bercanda sayang'', katanya memecah kebisuan.

 '' Kau jahat Tian, jahat '', kataku setengah berteriak sambil memukuli dada bidang tanpa ampun, Tian hanya meringis menerima perlakuanku. Dan selang beberapa saat Tian memelukku.

 '' Maafkan aku sayang, maafkan aku karna terlalu banyak menyakitimu'', bisiknya lirih ditelingaku. Pelukannya sangat hangat, kehangatan yang sangat kurindukan, aku menangis dalam peluknya. Tian mengangkat wajahku yang telah basah oleh air mata. Senyumnya mengembang dan itu mendamaikan hatiku. Tian mengusap lembut dan mencium kedua mataku secara bergantian.

 '' Dandelionku, tetaplah di sini, di hatiku. Biarkan cinta ini mengalir sesuai arus air. Biarkan Tuhan yang menjawab takdir kita. Walau aku dan kamu beda, aku masih berharap Tuhan mengijinkan kita untuk hidup bersama'', lanjutnya dan membenamkan tubuhku dalam peluknya. 

Dandelion itu telah menebar benih-benih cinta di dalam hatiku dan hatinya, menjadikannya sebuah rasa yang sulit untuk dicerna. Kadang kala cinta itu buta, dia datang dan menaruh rasa pada siapapun yang diinginkannya tanpa mengenal kasta dan marga. Tak ada yang salah dengan cinta, seharusnya tak perlu ada jarak dan pemisah walaupun itu sebuah akidah, bukankah tak ada manusia yang bisa menebak dia akan terlahir seperti apa, siapa dan bagaimana dia diturunkan! Seharusnya tak ada yang salah dengan semua ini.

Aku mencintainya lebih dari siapapun, Tuhan.
Readmore → Dandelion

Don't Cry


Hai selamat siang. Jumpa lagi dengan aku Zhiang Zie Yie. Kali ini aku ingin berbagi hasil coretanku pagi ini. Khusus ku dedikasikan buat temenku Yenny Amanatul.
Untukmu Sahabat Kemaren boleh kita bahagia Tak peduli nasehat teman dan keluarga Boleh kita merasa bangga dengan apa yang kita punya Tapi jangan lupa dibalik bahagia kadang kita akan lupa Bahwasanya kesedihan pun akan senantiasa mengiringi langkah hidup kita. Semangatlah untuk hari esok.
Readmore → Don't Cry

Cerpen Untuk Sebuah Janji

Tiba-tiba langkah ku terhenti di sini, di tempat terakhir kali melepasnya pergi, belasan tahun lalu. Pemandangan yang sama masih jua terasa. Sebuah bangku kayu yang dulu bercat kuning masih nampak sama namun setengah lapuk termakan usia. Sebatang pohon beringin yang berdiri di samping bangku itu masih jua kokoh walau tak kuketahui sudah berapa abad lamanya pohon itu berdiri di tempatnya.

Sekilas, kutengadahkan wajahku menatap mega yang sedari tadi murung, menantang rerintik hujan yang mulai menetes dari kanvas cakrawala. Banyak orang bilang saat kita menangis dalam hujan maka takkan ada sesiapa pun yang akan mengetahuinya.

'' Menangislah jika kau ingin menangis karna menangis akan melegakan hati mu'', bisikan itu pun terus terngiang dalam benakku setiap kali hujan turun, seperti saat ini.

Aku terus menantang rintik hujan yang sedikit demi sedikit menghantam jiwaku, meleburkan segala asa yang telah lalu . Tak peduli sudah berapa kali gemuruh halilintar menggelegar, berselang seling bersamaan dengan kilatnya. Tak peduli pula tatapan-tatapan aneh menyoroti diriku. ''Hentikan memandangiku...! Biarkan aku mengenangnya untuk yang terakhir kali ...'', jeritku dalam hati. Aku terduduk dalam tangis, kupejamkan mata dan mencoba mengingat kenangan masa lalu yang enggan beranjak dari ingatan ku akhir-akhir ini.

***

'' Kenapa kau Nad? '', sebuah tepukan ringan dari seorang pria yang ku tunggu membuyarkan imajinasiku tentang pria ini. `

Ryan Prayoga, begitulah namanya. Pria berkacamata minus dengan tas punggung yang masih di pundaknya itu langsung duduk di sebelahku, di sebuah bangku kayu tempat biasa kami bertemu usai pulang sekolah . 

Aku hanya menggelengkan kepala dan segera menutup buku gambar yang ada dipangkuanku. Ryan hanya tersenyum melihat tingkahku yang gelagapan saat dia duduk berdekatan denganku. Tak biasanya Ryan seintim ini padaku. Kupandangi matanya lekat-lekat, ada kilatan yang tersembunyi dalam bening netranya. Seketika aku berhenti bernafas, saat tiba-tiba Ryan mencium bibirku. 

Lama. Ini pertama kalinya Ryan menciumku. Ada kehangatan yang tak pernah kurasa sebelumnya bersama pria ini. Rasa damai begitu menyeruak dalam jiwa ku. "Mungkinkah ini yang disebut cinta?" Kupejamkan mata menikmati sensasi indah dunia ini. Jantungku serasa berhenti berdetak. Sungguh indah. 

"Sebenarnya aku tak ingin jarak memisahkan kita Nad'', katanya sesaat setelah menciumku.

 Ryan bangkit dari tempatnya duduk, dia berjalan mengahmpiri danau sembari mengambil batu-batu kerikil yang ada disekitar danau. Lalu, melemparkannya ke tengah danau yang ada di hadapan kami. Bunyi buihnya seirama dengan detak jantungku, ada rasa yang mengembang bagai gelombang, namun aku tak tau bagaimana menetralisirnya. Perasaan ini begitu berkecamuk dalam hatiku. Dan aku hanya mampu diam ditempatku.

 '' Orang tua ku memutuskan pindah ke Papua untuk menuruskan tambang batu bara milik Eyang. Kau tau Nad, ini sangat berat bagiku'', lanjutnya yang tak lagi membuang batu kerikil ke danau. 

Aku menatapnya dalam diam, bibirku kelu tak bisa berkata. Ryan tersenyum getir. Aku tau dia terluka. Sama seperti hatiku saat ini, bagai ada ribuan jarum yang menusuk dada, meluncur ke ulu hati yang terdalam. 

'' Tik... Tik... Tik...'',

Rerintik hujan tiba-tiba berjatuhan dari puncak cakrawala. Aku segera berdiri dari tempatku tapi tiba-tiba tangan Ryan menahanku. Dia hanya menggelengkan kepala dan memberikan isyarat agar tetap di tempatku. Hujan makin deras mengguyur aku dan Ryan namun tetap saja Ryan tak melepaskan tanganku dari genggamanya, selang beberapa saat Ryan menarikku dalam peluknya. 

Dia menangis di pundakku, aku hanya bisa terpaku tanpa kata. Dadaku sesak, ingin rasanya membalas peluknya namun aku tak mampu. Satu jam berlalu tanpa kata, hujan masih saja mengguyur kami. Tak ada kata selain dekapan hangat darinya. Lalu, Ryan menggandeng tanganku menuju ke sebuah pohon beringin yang sedari tadi menjadi penonton paling setia ditempat ini. Ryan mengeluarkan pisau lipatnya, mengukir sebuah tanda cinta yang di tengahnya bertuliskan nama kami. 

'' Tunggulah aku Nad, aku pasti kembali untukmu. Jika kau tau kekuatan cinta sejati, dia akan kembali sejauh dia melangkah pergi'', kata Ryan parau.

 Ryan mengakhiri ukirannya pada pohon beringin ini. Dia kembali menatapku dan menelangkup wajahku dengan kedua tangannya. Airmata yang sedari tadi ku bendung, akhirnya tumpah jua lewat kedua ujung mataku. Ryan mengusapnya dengan kedua Ibu jarinya dan sekali lagi dia menciumku. Aku benar-benar larut dalam keadaan ini. Berat rasa hati melepasnya pergi tapi aku juga tak tau harus berbuat apa? 

*** 

Kini usia ku sudah dua puluh delapan tahun. Sudah belasan tahun kiranya Ryan pergi dari pandanganku. Sudah belasan tahun pula tak ku dengar kabar darinya. "Bodohnya aku yang terus saja menunggu", rintihku dalam tangis. 

Walau sudah kerap kali mencoba dan memberi ruang pada orang-orang disekitarku, hatiku tetap tak bisa berpaling darinya. Sosok Ryan begitu kuat merasuk dalam jiwaku, memenuhi setiap rongga dalam ragaku. Buliran kristal seakan tak mau berhenti mengalir dari ujung mataku, bercampur luruh bersama derasnya hujan yang masih jua menangis dari puncak cakrawala. Cinta itu membungkamku dalam lembah tanpa batas. Memberikan guratan kerinduan dalam setiap jengkal penantian. Ada segerumbulan rasa yang tiba-tiba menyergap jiwa tapi tak ku ketahui dari mana asalnya. 

'' Nadira'', gema suara yang ku kenal itu memanggilku. Lirih. 

Ku dongakkan kepala dan ku lihat sesosok pria berkacamata tengah berdiri dihadapanku. Pria yang ku kenal tapi sedikit berubah, tampilannya tak seperti dulu, terlihat maskulin ku rasa. Sejenak, hatiku bimbang. 

Bernarkah dia Ryan ? Pria yang selama ini ku tunggu. 

'' Kau tak mengingatku Nad, aku Ryan'', lanjutnya. 

Mataku sedikit membulat mendengar nama itu. Adrenalinku berpacu lebih cepat dari biasanya. Aku masih terduduk di tempatku, rasa nyeri masih menguasai diriku. '' Rrrrryan...'', kataku setengah tak percaya. 

''Jika kau tau kekuatan cinta sejati, dia akan kembali sejauh dia melangkah pergi'', katanya sambil medekat kearahku. 

Ryan membantu ku bangkit dari tempatku lalu dia memelukku erat, sangat erat. Janji yang dulu pernah dia ucapkan sebelum kepergiannya kini terulang kembali. Rindu itu akhirnya terbalas jua. 

Hari ini, di saat hujan turun, saat gelegar halilintar menyambar-nyambar, kejadian yang sama begitu jelas tergambar. Meleburkan penantian yang selama ini ku nanti. Ini lah kekuatan cinta yang sebenarnya. Tak ada yang bisa memisahkan keagungan cinta tanpa kehendakNya.Untuk sebuah janji, cinta itu kembali. Mengisi relung hati yang sempat kosong dan gersang tanpa aliran rasa. Sebuah janji yang mengikat jiwa yang tak kan luruh tergerus masa. Andai pohon beringin dan bangku tua ini dapat berbicara mungkin mereka juga akan turut bahagia bersama kami . Seperti rasaku saat ini, tentang kepercayaan akan sebuah janji.




Readmore → Cerpen Untuk Sebuah Janji

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER