Sabtu, 30 Agustus 2014

Pacar Tiga-Nam-Puluh (360)

Heh..! kamu... (pakai kata ganti aja ya, biar kamu nggak terkenal-terkenal amat. Amat aja nggak seterkenal kamu). Kamu itu setiap hari curhat masalah cewek 360 itu padaku. Apa kamu nggak bosan? Kuping ini mendengar namanya saja sudah mual. Kok ya bisa-bisanya bibirmu itu nggak bosen cerita soal dia.

Kamu tau nggak sih? Masyarakat seantero Facebook, Instagram, Line, WHATSAPP dan applikasi yang menempel di ponselmu itu juga tau kalau cewek itu aspal. Masak kamu mau-maunya sih pacaran sama cewek jadi-jadian macam dia. Kalau aku ogah dari dulu. Tapi ya yang namanya kamu itu ngeyelnya nggak bisa diobati pakai obat macam apapun sih, mau bagaimana lagi.

Sekarang nyesel kan? Nangis, gulung-gulung, pakai acara mogok makan. Ngambeg sama aku. Heuh... masih ada ya cowok kayak kamu ini. Kamu ingat nggak sih, saat pertama aku sarankan buat ketemuan sebulan setelah kalian jadian? Inget nggak? Pura-pura lupa lagi. Kan aku sudah bilang pacaran jarak jauh alias Long Distance itu berat. Kan kamunya nggak tau pacarmu itu kayak apa. Kepribadiannya kayak apa. Kalau sudah transgender kayak gini gimana. Bukan cuma kamu. BONYOK (BokapNyokap, biar disangka kece)-mu kan yang rempong. Sudah dibela-belain buat beli sapi, pesan elektone, sewa dekor dan sewa mobil buat penjemputan si ratu-mu yang katanya baru turun dari Surga itu. Nyatanya malah ''mak bedunduk" nggak jadi. Eh, kamu itu semua duit loh. Itu muka BONYOK-mu mau ditaruh di mana, hah? Aku jadi geregetan sendiri sama kamu.

Kamu itu cowok! Masak gitu aja melempem. Gitu aja patah hati. Iya sih, yang namanya patah hati itu nggak enak. Mau tidur susah. Mau makan seret. Mau mandi apalagi, males (berhubung aku di negeri antah berantah yang kesemuanya memegang teguh budaya pengiritan maka dari itu tiada salah bila aku mandi cuma satu kali, mandi dua kali jarang kalau nggak pas panas). Kamu itu nggak perlu niru-niru kemalasanku di sini. Sekali lagi kamu itu cowok! Bukan B-enci yang kayak pembokat sebelah. Heuh... Pakai sok pengen bunuh diri, iya kalau langsung mati. Kalau masih sekarat terus koma dan nggak sadar-sadar sampai ajalmu tiba apa nggak lebih menyiksa lagi. Pikir!

Cowok itu harus kuat. Liat cewek cantik efek 360 aja langsung ngesot-ngesot hatimu. Gimana kalau beneran liat bidadari? Aku kasih tau ya... 360 itu bisa membuat bibir tonggos jadi mingkem. Kulit item (efek keturunan afrika) jadi putih, seputih Srikandi. Rambut kribo jadi lurus. Badan gemuk (eh...itu aku. Tapi aku nggak sih kalau gemuk. Cuma tembem) setengah kurus. Dan, masih banyak efeknya.

Udah... Jangan ngambek lagi sama aku. Sudah tak buatin status ini biar kamu dan cewek yang juga temanku itu baca. Buruan makan, kasihan tuh cacing yang ada di perutmu sudah teriak-teriak minta sesuap nasi. Eh, itu juga si BONYOK esem-as-esem-es aku buat ngebujuk kamu. Kamu itu sudah tiga puluh tahun. Malu dong sama anak SD yang bisa dengan cepat Move on. Wanita itu nggak cuma satu, dia aja. Noh pasar loak bejibun. Ups...

Buat kamu, entar malam kita lanjutkan diskusi masalah mantan. Mau dikemanain hatimu itu. Ok... Aku mau malam mingguan dulu sama hp. Don't be distrube me again soal TIGA-NAM-PULUH-mu itu.

Readmore → Pacar Tiga-Nam-Puluh (360)

Jumat, 29 Agustus 2014

Hai Mantan

Hai Mantan, apakabar? Eh, enaknya aku memanggilmu apa ya? Sayang, rasanya kurang pas. Cinta, kamu bukan lagi kekasih hatiku. Darling, eh jangan itu aku takut memanggilmu seperti itu, soalnya kata-kata itu ada singkatannya, Modar Ora Eling. Akukan takut masak mau ngatain kamu kayak gitu, secara kamu masih sehat walafiat tanpa kekurangan baju apapun. Ok deh, keputusan final aku memanggilmu mantan saja ya, biar afdol.

Cekidot...

Hai, Mantan. Masihkah kamu merindukan aku? Masihkah kamu membuka larik demi larik, men-scroll status Facebookku dari atas ke bawah. Dari tahun 2014 hingga tahun terakhir saat kamu tak ada di sampingku. Jika iya, berarti kamu masih mengagumiku. Hayo, ngaku....

Hai, Mantan. Tahukah kamu saat kita putus dulu. Aku seperti orang gila. Mencari pelarian ke sana ke mari (bukan dengan cowok), dari ujung timur hingga ujung barat kulampaui. Itu hanya demi untuk Move On dari kamu. Tahu nggak sih? (jangan bilang kamu nggak tahu, bangkiak warna silver ini bisa melayang ke mukamu yang sok ganteng itu). Eh, emang sih kamu ganteng tapi sayang kegantenganmu itu kamu obral. Sadiskan kata-kataku? Sesadis saat kamu mutusin aku.

Back to story...

Hai, Mantan. Move On dari kamu itu sangatlah berat. Sebagian temanku menganggapku gila, tak waras dan ada yang lebih parah lagi hilang ke-ab-nor-mal-an-ku sebagai manusia. Hey, betapa tidak. Hanya demi melupakanmu, aku menghabiskan berpuluh-puluh kata (bukan) berjuta-juta, itu hanya demi bisa move on dari kamu. Kutulis segala keluh kesah lewat buku diary yang rencananya akan kukirim melalui kantor pos tempo dulu, itu semua agar kamu tau sakitnya hati itu di dalam bukan di otak. Agar kamu juga tau betapa aku membencimu setengah agak mau pingsan. Itu semua karena kamu... Iya kamu mantan...! Mau menoleh ke mana lagi, hey? Namun, akhirnya aku sadar satu hal, kita nggak jodoh. Kita nggak sehati. Kita nggak sejalan. Dan, kuputuskan membakar diary yang kesemuanya berisikan curhatanku tentangmu di kuil Mama Liong, kuil sembahyangan yang biasa kudatangi setiap hari. Berharap, namamu tenang di sisi-Nya.

Oh ya, Mantan. Ternyata kepergianmu itu membawa berkah bagiku. Bagi kehidupanku dan kehidupanmu tentunya. Karena, aku dan kamu sama-sama pernah punya status ikatan yang dipaksa putus. Eh. Iya kita putus karena terpaksakan? (mencoba menenangkan hati) Kamu terpaksa menikah karena nggak kuat nunggu aku dan aku terpaksa di sini karena aku sakit hati. Eh. Iya sakit hati. Berhubung sakitnya di dalam jadi nggak bisa di lihat.

Oh ya, sekali lagi ya, Mantan. Aku ingin sekali berucap terima kasih karena penghianatan itu. Ya, caramu menghianati aku itu membuatku memahami arti setia. Dan, benar aku masih setia berada di tempat ini hingga masa kerjaku habis. Dan kamu, tolonglah usah mencari aku lagi. Sok gaya-gaya upload foto ganteng biar aku tertarik. Inget tuh wajah jangan diobral. Kan kamu sudah ada yang punya. Masak masih kurang. Emang sih itu hakmu tapi sebagai mantan yang baik kan harus selalu mengingatkan. Soalnya nggak ada istilah mantan jadi saudara. Jika pun ada 0,001% saja kayak sambungan SLI.

Udah malam ya, Mantan. Makasih jempolmu tadi melayang di statusku. Hingga sempat membuat mata ini tiada percaya bahwasanya kamu masih perhatian sama aku. Cukup senang bercampur emosi juga atas hadirmu. Eh.

Segitu dulu ya, Mantan. Besuk atau lusa kita sambung cerita yang lebih menarik lagi.

Readmore → Hai Mantan

Jumat, 22 Agustus 2014

RIP Rizki Ramadhan

Rizki Ramadhan, begitulah namanya. Aku begitu terkejut setelah membaca status teman disalah satu sosmed yang menyebutnya telah meninggal beberapa pekan lalu. Nasib na'as menimpa pemuda ini. Sebuah kecepakaan motor itu pun terjadi.

Sebelum kematiannya, Rizki sempat menulis kalimat di akun Facebooknya yang menyatakan bahwa dia ingin mati saja. Cekidot gambar ya.....





Kawan, setiap kata yang ada adalah doa. Aku ingin kalian berkata yang baik-baik saja. Belajar baik memang susah. Tapi jika sudah terbiasa akan sangat mudah.

Jangan hiraukan mereka yang menyebutmu aneh, sok caper, alay  dan sebagainya. Mereka hanya belum bisa sepertimu. Menjadi lebih baik.  








Readmore → RIP Rizki Ramadhan

Jumat, 15 Agustus 2014

Nada Terakhir (Cerpen)

Cerpen ini aku dedikasikan buat Almarhum Sukma yang telah berpulang kepada-Nya tiga belas tahun silam. Semoga kamu bahagia di sana.


Oke, Cekidot dan selamat membaca. Jangan lupa tinggalin komen atas tulisanku yang amburadul ini.


Hembusan angin menggerak-gerakkan dedaunan di sepanjang jalan yang kulewati. Membuat helaian dedaun itu jatuh berguguran satu per satu hingga berbaur dengan tanah. Aroma hujan tadi pagi masih jua terasa membekas. Jalanan ini masih tampak sepi di senja yang mulai menampakkan biasnya. Aku berdiri tertegun di samping pohon beringin yang seolah membisu menatapku.

Sejenak, kutatap cakrawala yang mulai menguning. Semburat matahari dibilik senja membuatnya nampak penuh warna. Tidak ada pelangi seperti apa yang kubayangkan selepas hujan pergi. Semua terasa sunyi, hanya ada suara burung gagak yang sekelebat melintasi tapal batas pandanganku. Lama, aku memandang pesona alam yang begitu mengagumkan hingga perlahan langkahku kian menjauh dari tempatku berpijak.

Tak terasa kini aku telah sampai di depan gapura rumah sakit Dr. Soetomo. Angin menghantarkanku kembali ke tempat ini lagi, tempat di mana kamu menghabiskan hari-harimu selama dua tahun terakhir melawan penyakit mengerikan itu.

Kulangkahkan kaki menyusuri koridor-koridor gelap nan panjang, mengikuti setiap anak panah yang menunjuk ruangan yang sedang kutuju. Detak jarum jam begitu terasa menggema. Berpacu dengan derap langkah para pengunjung yang ingin segera melihat kerabatnya dari balik pintu yang tertutup ini.
Wajah-wajah muram bagai gelap malam tanpa penerang itu hanya mampu mendesah pelan sembari bersandar di tembok beton yang dingin.

Aku berhenti tepat di sebuah ruangan bertuliskan nama Kenanga. Sebuah nama bunga yang akrab dengan aroma kematian. Aku terdiam sejenak. Memikirkan kata-kata yang tepat untuk kuutarakan padamu hari ini. Aku mematung dari balik pintu kamarmu yang setengah terbuka. Kudapati suster berambut sebahu itu sedang membantumu duduk di kursi roda. Kamu makin terlihat pucat seperti wajah rembulan di siang hari. Hanya rona merah pada biola yang kini berada dalam pelukanmu yang sedikit merubah raut wajahmu itu. Layaknya senja yang selalu kamu kagumi. Begitu meneduhkan. Aku tertegun menatap sosokmu yang kini semakin kurus. Rambutmu yang biasanya tergerai panjang kini sudah dipangkas tanpa bekas. Penyakit itu rupanya telah menjalar sempurna keseluruh tubuhmu. Menjadikanmu manusia yang hidup tapi sejatinya jiwamu telah mati. Aku tersenyum menatapmu, kamu masih terlihat cantik di mataku, Kenanga. Ya, namamu adalah Kenanga. Kamu yang telah banyak merubah hidupku sejak pertama kali kita bertemu.

''Ryan, sini!'' seru-mu memanggilku. Kamu memang selalu bisa merasakan kedatanganku. Aku pun mengangguk dan mendekat ke arahmu. Aku terdiam cukup lama, menatapmu hari ini membuat dadaku semakin sesak. Garis lingkar matamu semakin menghitam dan terlihat cekungan yang amat mendalam di sana. ''Kenapa? Ada yang aneh denganku'' tanyamu dengan tatapan sendu. Aku menggeleng lemah. Bibirku kelu tak mampu menjawab kata-katamu. Aku sungguh tak berdaya menatap keadaanmu hari ini, kekasihku.

''Ryan, aku ingin menatap senja, mau kah kamu mengantarkanku ke taman belakang?'' pintamu padaku. Pandanganmu seakan kosong menatap semburat senja itudari balik jendela kaca kamar ini.

''Tapi kamu nggak bisa pergi dari ruangan ini.''

''Ayolah, sekali saja. Aku ingin sekali menatap senja bersamamu,'' rengekmu.Kupandangi suster yang sejak tadi duduk di sudut ruangan. Berharap dia memberi solusi atas permintaan kekasihku ini.

''Pergilah, tapi sebelum jam enam kalian harus kembali kesini," suster itu pun akhirnya ikut bicara. Kamu terlihat bahagia mendengar jawaban suster itu. Bersorak-sorak seperti anak kecil yang telah memenangkan lomba.

Lalu, aku pun membawamu ke taman belakang, tempat yang paling kamu suka jika merasa sepi tanpa kehadiranku. Di koridor tadi kutatap wajah muram orang-orang yang menatapmu. Mereka memandangmu penuh iba atau mungkin mereka tengah bertanya-tanya penyakit apa yang sedang menyergapmu saat ini. Hingga membuat tubuhmu yang dulunya sempurna, kini nyaris terlihat seperti tengkorak hidup. Ah, kamu masih tetap setia menahan senyum sumringah itu. Seolah ingin menunjukkan ketegaranmu pada mereka. Namun dibalik semua itu, aku tau kamu rapuh. Aku tau kamu ingin menjerit. Karena aku bisa merasakan sakitmu, Kenanga.

''Kamu percayakan, Tuhan tidak akan mencoba makhluknya sebatas kemampuan yang mereka miliki. Jika sekarang aku masih hidup. Berarti aku masih mampu melewatinya.'' Kamu mencoba membuka pembicaraan. ''Tapi nanti, jika nafas ini terputus dan detak jantungku tiada lagi terdengar, yakinlah bahwasanya aku telah damai berada bersama-Nya. Bukankah kematian adalah sebuah keuntungan,'' lanjutmu sembari menghela nafas, panjang. Binar-binar semangat masih jua utuh bertahan di jiwamu. Seolah kamu masih sanggup melawan penyakit mengerikan itu, sendiri.

Leukimia, penyakit itu kini tengah bersarang di tubuhmu. Dokter bilang hidupmu tidak akan lama. Walau berbagai macam pengobatan telah kamu lalui namun kenyataannya tetap saja, sel kanker itu semakin menjalar dan menggerogoti sisa umurmu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menemanimu menjalani segala rutinitas kemoterapi, yang katamu merupakan siksa Tuhan yang paling nyata di dunia. Kamu jadi tidak bisa makan karena reaksi obat itu selalu membuatmu muntah. Keluargamu yang kaya raya pun jatuh bangkrut karena harus membiayai seluruh pengobatan yang kamu jalani. Memang benar, satu belokan kecil saja mampu merubah hidup secara fatal. Tapi mereka tidak peduli. Asalkan kamu tetap bisa bertahan.

''Kamu memang gadis yang amat kuat Kenanga,'' bisikku lirih. Berharap angin mampu menyampaikan rasa ini padamu, kekasihku. Aku tak mampu berkata banyak hal lagi denganmu. Mendengar tutur katamu saja membuat dadaku sesak. Berulang kali kutahan air mata agar tak jatuh. Kenanga, betapa aku tersiksa atas semua ini.

''Lihatlah, dunia ini begitu penuh warna, bukan?'' katamu sesampainya di taman belakang. Pandanganmu lurus menatap cakrawala yang telah menjingga. ''Seperti halnya pelangi di angkasa yang begitu indah. Kamu dapat menikmatinya walau hanya sesaat setelah hujan menyapa bumi tentunya.'' Kamu terdiam. Rasanya kamu begitu senang hari ini. Jemarimu yang lentik itu, kamu ulurkan  ke atas seperti ingin meraih sesuatu di puncak sana dan memberikannya padaku. ''Namun, hanya seper sekian persen saja pelangi itu bisa dipastikan ada. Kehidupan di dunia ini pun sama, terlihat astral walau nyata. Sejenak kita dapat menyinggahinya walau pada akhirnya kita pun harus pergi. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk segera berlalu dan berucap selamat tinggal pada waktu,'' lanjutmu lagi. Aku terdiam sejenak, termangu oleh penuturanmu yang semakin membuatku sakit. Aku tak mampu menitihkan air mata walau jiwa ini tengah menangis.

''Ryan,'' panggilmu yang menghenyakkanku dari lamunan. ''Aku ingin memainkan satu lagu untukmu. Kamu mau membantuku berdiri?''

''Oh, Ten...tu...'' jawabku tergagap. Tanpa pikir panjang aku membantumu menjejakkan kaki di rerumputan ini. Dan lagi-lagi kamu tersenyum kepadaku. Senyuman yang mampu membuatku bertahan bersamamu.

Lalu, kamu mulai menggesek biola itu. Perlahan menikmati setiap alunannya. Katamu, nada itu adalah instrumen lagu dari Johann Pachelbel - Canon D Major. Lagu yang menginspirasimu untuk tetap bertahan. Kamu yakin bahwa suatu nanti kamu dapat bersinar, layaknya orion di malam hari. Bintang yang paling terang di jagad raya ini. Bintang yang terus menyala walau di belahan dunia yang berbeda.

Gesekan biolamu semakin membuatku terhipnotis, aku larut dalam angan yang panjang. Batinku semakin damai mendengar lantunan nada itu. Mataku terpejam menikmatinya. Lama aku berada di alam yang tidak aku sadari. Hingga pada akhirnya aku tersentak oleh jerit tangis orang-orang yang memanggilku.

''Ryan..! Bangun, Ryan...!'' teriak ibu memanggilku. Jerit tangis orang-orang disekitarku pun membuatku diambang batas kesadaran. Mataku perlahan terbuka namun tubuhku tak bisa bergerak, seperti terpasung dalam balok kayu. Bibirku tak bisa berkata apa pun walau mataku melihat mereka. Aku masih sempat bingung kenapa aku berada di tempat ini. Hingga pada akhirnya aku mengerti. Aku tidak tau kenapa waktu begitu cepat melesat. Kecelakaan itu membuat ruhku terpental jauh dari jasadku yang remuk karena menghantam pohon beringin, lima belas meter dari rumah sakit ini. Aku tidak mampu berbuat apa-apa ketika malaikat itu begitu beringas dan tegas menarik ruhku dari jasadku. Kala itu aku hanya bisa pasrah dan berharap bisa bertemu denganmu, Kenanga. Dan memberikan cincin ini padamu.

''Kenanga... Di mana kenanga? kenapa kamu tidak berada di sini?'' batinku masih saja berontak mencarimu. Air mataku mengalir begitu saja. Ah, mungkin kamu tidak tau aku di sini sekarang. Aku ingin sekali menemuimu saat ini namun aku tak sanggup. Melangkah pun rasanya berat. Kudengar nada monitor pendeteksi jantung berdenting silih berganti. Menimbulkan nada yang begitu menakutkan. Jerit tangis mereka kian memekakkan telinga. Aku bungkam. Mataku tertutup. Nafasku sudah tidak beraturan lagi hingga nada terakhir itu berbunyi.

'' Ting......''

***

Kenanga, kutitipkan surat kecil ini pada tempias hujan yang  menyapa jendela kamarmu. Agar kamu mendengar ketukan rasa yang selama ini membeleggu jiwaku. Sebait rasa yang belum sempat kusampaikan padamu, kekasihku. Rasa yang pernah kutahan sekian lama, hingga nyaris bibir ini tak mampu mengatakannya. Namun, hari ini kuberanikan diri untuk menyapamu lewat sajak rindu yang telah kupintal untukmu. Sesaat tadi aku mendengar lantunan nada-nada indah itu lagi. Petikan nada yang kamu mainkan sebelum aku pergi dari taman senja itu. Gesekan nada biolamu yang begitu mendamaikan hati. Menghantarkanku hingga langit ketujuh, tempat di mana nantinya kita akan bertemu. Sebuah nada yang menggetarkan seisi cakrawala. Hingga air matanya pun ikut tumpah mengiringi rintihanku. Andai aku bisa mendekapku saat ini. Ingin kubawa engkau melihat pemandangan yang indah, yang selalu kamu impikan itu, kekasihku.

Kini, aku dan kamu tengah berada dalam takdir yang rumit, seperti orang yang saling bertautan satu dengan yang lainnya. Rasanya, sekarang dunia kita berbeda. Kematian telah lebih dulu menjemputku. Detak jantungku tiada lagi terdeteksi. Dokter telah berusaha semampunya untuk menolongku. Dan ini lah hal terbaik yang dipilihkan Tuhan, aku berada dalam satu garis lurus untuk pulang kepada-Nya. Aku menyayangimu Kenanga, kutunggu engkau selalu di pintu Surga-Nya.

Surabaya, 18 Februari 2005




Readmore → Nada Terakhir (Cerpen)

Coklat Rasa Bir



Readmore → Coklat Rasa Bir

Minggu, 10 Agustus 2014

Lomba Cerdas Cermat


Readmore → Lomba Cerdas Cermat

Juara 2 Di Komunitas Biola Hongkong

Hai guys, ketemu lagi sama aku yang imoet kayak marmut lagi diciumin semut. Oh, ya gimana kabar kalian? Aku harap kalian baik-baik saja. Hari ini aku lagi seneng banget karena nggak nyangka bakal dapat hadiah dari Under Bright Community. Sebuah komunitas biola di Hongkong. Pemainnya pun bukan dari kalangan Orang Cina, melainkan ia yang saat ini tengah bekerja menjadi PRT Di sini.

Bulan Mei kemarin, UB ngandai lomba cerpen lho. Hadiahnya lumayan sih. Untuk juara 1 bakalan dapat biola gratis, tanpa syarat serat piagam dari mereka. Dan, taraaaa......  aku dapat juara 2, yang hadiahnya piagam, les biola selama 6 bulan dan selembar kertas warna merah. Hihihihi

Bersyukur, itu yang sampai saat ini aku rasakan. Berbagai lomba yang aku ikuti membuahkan hasil dan itu semua juga berkat Mamakku. Tanpa doa dari Mamak tentu aku tidak bisa semudah itu mendapatkan segala hal yang aku inginkan. So, buat kalian-kalian yang masih juga marah, membangkang dan masih nggak terima tentang perlakuan orang tua kepada kita, segera instropeksi diri ya. Sebelum terlambat tentunya. Soalnya, surga itu di bawah telapak kaki ibu. Orang yang melahirkanmu. 

Next, buat kalian yang pengen baca cerpen '' Nada Terakhir" bisa baca di akun Facebookku Zhiang Zie Yie atau klik di sini. Terima kasih buat kalian yang sudah mampir ke blogku dan membaca coretan-coretan tidak berguna ini. 

Buat kalian yang sukanya hanya membaca, yuk mulai menulis bersama. Indahnya menulis saat kamu bisa berbagi aktifitasmu dengan yang lain ^_^ 

Readmore → Juara 2 Di Komunitas Biola Hongkong

Gebyar Lomba Poster Dan Kaligrafi 2014







Readmore → Gebyar Lomba Poster Dan Kaligrafi 2014

Juara 1 Lomba Poster 2014





Readmore → Juara 1 Lomba Poster 2014

Kemacetan Hongkong Pagi Ini





















Readmore → Kemacetan Hongkong Pagi Ini

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER