Kamis, 27 Februari 2014

Siu Change

Siu Chang'e

 Semburat malam menghias angkasa, melukis pesona alam di puncak azura. Sekelebat kerinduan melintas dalam angan, menyisakan tanya pada indahnya cahaya yang senantiasa berganti setiap harinya.
"Dimana mereka? Kenapa mereka begitu kejam dan memilihku untuk lahir ke dunia dengan keadaan seperti ini", kata-kata yang selalu ku ucapkan saat kerinduan itu membuncah melebihi isi batin ku. Butiran bening menyeruak dari ujung mata, pedih jua terasa dalam batin yang tengah meronta. Tak tau sampai kapan purnama di atas sana dapat ku lihat. Purnama yang masih nampak pucat dan sesekali terhalang mega yang sepintas menyapanya. Ku seka airmata yang masih mengalir membasahi pipiku, menghempaskan sesak yang menyeruak dalam dada.

"Ayah... Ibu... apa kalian melihatku dari atas sana? Apa kalian tak merindukanku walau sedetik saja...", jeritku dalam hati. Ku tarik kedua lututku dan membenamkan wajah diantaranya. Ku terisak dalam gelap malam, dalam pendar purnama yang kian menembus batas kerinduan.

" Siu Chang'e...", sebuah tepukkan pelan menyadarkanku dari isak panjang malam ini. Ku angkat  wajah dan ku tatap seraut wajah yang nampak menua dimakan usai. Kerutan di keningnya begitu mempertegas jalan panjang yang telah dia lewati.

" Kau menangis, Nak?", lanjutnya yang langsung duduk dihadapanku. Wanita tua ini menghapus airmata yang membasahi pipiku dengan telapak tangannya yang kasar. Rona kasihnya begitu mendamaikanku kala sepi menghampiri.

" Chang'e kangen ayah dan ibu, Nek", kataku yang langsung memeluk wanita tua ini yang tak lain adalah nenek ku. Orang yang selama ini dengan tulus menjagaku, memberikan segenap kasihnya untuk merawatku. Kali ini aku benar-benar menangis, menangis dipelukan nenek.

"Nenek tau Chang'e, tak ada anak yang tak merindukan kasih sayang orang tuanya begitu pun sebaliKenya, tak ada orang tua yang tak ingin melihat pertumbuhan anaknya.

" Tapi mereka meninggalkanku, Nek", sela ku yang masih sedikit terisak.

"Ssssuut... Jangan pernah bilang seperti itu. Kau lihat bulan di atas sana, Nak", kata nenek sambil menunjuk purnama yang bertengger indah di puncak azura. " Kau lihat itu? ayah dan Ibu mu ada disana. Melihat mu tumbuh agar kau menjadi wanita yang mandiri nantinya. Ayah dan Ibu mu akan sedih bila melihat mu menangis, kau tak mau ayah dan Ibu mu sedih juga kan?", lanjutnya sambil mengusap lembut rambut ku yang tergerai panjang, aku pun mengangguk pelan tanpa kata. Sesaat, ku pandangi wajah purnama yang nampak bercahaya dengan terang, tak seperti tadi yang terbelenggu oleh sekelompok barisan mega.

" Ayah... Ibu... " rintihku dalam hati. Ku meringkuk dalam dekapan nenek yang hangat. Memejamkan mataku yang sembab oleh airmata. Sayup-sayup ku dengar nenek bernyanyi,  mendendangkan syair indah yang belum ku dengar sekali pun. Nenek mengusap lembut keningku, sesekali nenek mengurut pelan kaki ku, memberikan ramuan malam sebelum aku tidur. Dan malam ini, aku benar-benar terlelap dalam buaian malam, pada semilir Bayu yang menyapa gelap, pada simpul bambu yang menjadi benteng kehidupanku. Disini, di gubuk nan sepi. Di sebuah negri yang terkenal dengan sebutan " Negri Tirai Bambu.

                          ***

Hangat mentari pagi memaksaku bangun dari lelap panjangku. Sinarnya tengah berlomba-lomba menyilaukan mata, masuk dari celah-celah anyaman bambu dari luar gubuk kecil rumahku. Aku terduduk sejenak, menyingkap selimut yang menghangatkan tubuhku. Awal bulan Januari yang dingin, sedingin hariku tanpa dekapan Ayah dan Ibu. Ku hela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ku pandangi sejenak kedua foto hitam putih yang menempel pada dinding kayu itu. Nenek bilang mereka adalah orang tuaku, orang tua yang saat ini berada di Bulan, tempat mereka tinggal. Rasa haru kadang muncul dalam benakku, ayah dan Ibu masih sempat memberi ku nama Chang'e yang berarti dewi Bulan. Seorang dewi yang cantik dan menjadi dewi yang hidup kekal di Bulan. Namun, semua itu berbanding terbalik denganku. Hidupku tak seperti bulan yang bersinar terang kala malam datang. Yang selalu ditunggu manusia dan binatang malam untuk berdendang bersama menikmati setiap detik yang berlalu. Kebanyakan mereka mengucilkanku, mencemo'oh keadaanku yang tak normal. Membuatku seperti binatang yang enggan mereka sentuh bahkan tidak sekali pun mereka mempedulikan ku. Hidupku, tak lain hanya bergantung pada obat-obatan yang setiap saat harus ku minum. Aku tak tau penyakit apa yang sedang menggerogoti tubuh.

" Huh...", lenguhku. Ku coba bangkit dari dipan dengan merayap. Lututku terasa lemas untuk berdiri, bahkan tanganku sesekali gemetar seperti tak ada tulang yang menlekat di dalamnya. Ku merangkak perlahan, mengambil segelas air yang ada di atas meja.

"Prangggg......" gelas itu jatuh ke lantai saat ku coba meraihnya. Beberapa pecahan kacanya menggores kulitku. Mengalirkan darah segar yang enggan berhenti.

" Astaga, Siu Chang'e...!",teriak nenek yang kaget melihat kondisiku saat ini. Baju ku basah kuyup oleh air bercampur darah yang terus. saja mengalir dari tangan kakiku. Dengan sigap nenek membebat lukaku dan menggendongku yang telah lemas di pundaknya. Bibirku tak mampu menjerit bahkan berkata pun tidak. Hanya airmata yang mengalir dari ujung mataku.

Aku tak tau berapa lama nenek berlari menggendongku. Melewati hamparan ilalang yang membentang di lereng perbukitan. Membawaku sesegera mungkin ke tempat pak Kuwu, seorang tabib tersohor yang ada di perkampungan kami. Sesekali, nenek terbatuk-batuk, mengusap peluh yang mengucur deras membasahi tubuhnya. Aku yang tengah terkulai lemas hanya mampu menatap nanar dari balik punggungnya. Kekhawatiran itu terlihat jelas dari sorot matanya yang sayu

Beberapa saat kemudian, sampai lah aku di tempat pak Kuwu. Nenek segera menidurkanku di atas dipan panjang yang telah tersedia untuk orang-orang sakit, disampingnya terdapat dupa yang aromanya begitu menusuk indra penciumanku. Beberapa ramuan traditional dibubuhkannya pada tubuhku yang penuh luka. Perihnya menjalar ke ubun-ubun, membuat kepalaku berdenyut hebat, nafas ini sedikit berat ku hembuskan. Aku pun terkulai lemah, mataku terasa berat dan aku pun terlelap dengan rasa perih yang masih menjalar dalam tubuhku

                                          ***

Hari berganti Bulan berlalu, ku pandangi wajah Rembulan yang bersandingkan bintang-bintang dengan rasa kagum tanpa batas. Tak terasa kini usia ku sudah menginjak dua belas tahun Fase pendewasaan yang tak terasa begitu cepat ku lalui. Aku sudah banyak tau tentang riwayat kedua orang tua ku dan kenapa mereka pergi meninggalkan ku dengan segala keterbatasan yang ku miliki. Mereka tak sedang berada di Bulan seperti cerita nenek dahulu melainkan mereka ada di Surga, tempat mereka bersemayam selamanya. Beberapa bulan lalu sebelum nenek meninggal, nenek membawaku ke makam ayah dan ibu di lereng bukit. Disana nenek bercerita tentang siapa ayah dan Ibu, kenapa aku harus minum obat yang sangat banyak setiap harinya, kenapa orang-orang mengasingkanku di hutan tanpa ada yang mau menjamah gubuk tempat dimana aku bernaung. Ternyata Oi Chi Pheng atau virus HIV/AIDS telah bersemayam dalam tubuhku sejak aku lahir ke dunia. Sebuah penyakit yang paling ditakuti dan menjadi momok yang paling mengerikan di kampung kami. Sebagian mereka menganggapnya sebuah kutukan yang harus disingkirkan. Walau begitu aku sangat bersyukur karna diberi kesempatan untuk melihat alam ini. Sebagian mereka memang mengucilkan ku namun sebagian lagi datang memberi ku sejuta harapan. Harapan untuk tetap bisa bernafas dan menyambung hidup di dunia yang penuh warna. Harapan tentang kasih yang tercurah dari tangan-tangan lembut itu. Harapan dalam sebuah penantian ketika Ruh ku terlepas dari raga ku.


Thanks to my best friends Biyu zhi zaidul :v
Dan koran Kindo yang sudah berkenan menerbitkan kedua karyaku, sukses buat Kindo dan semua orang yang telah memberiku semangat
Readmore → Siu Change

Di Bawah Sajak Rinduku

Terkadang, aku ingin mentari tetap diam di ufuk senja
Atau bumi ini yang berhenti berputar saja untuk sepersekian detik

Aku pernah berharap seperti itu
Namun sayang waktu tetap melaju
Tanpa membiarkan otak-otak manusia untuk beristirahat dahulu

Ya, semua tetap berjalan di atas tumpuannya
Tak ada yang berubah dibalik wajah ramah

Mungkin aku bosan dengan semua ini
Tapi, cukup kamu yang tahu aku sayang
Kita mati hanya satu kali
Dan akan hidup untuk yang kedua kali

-----Di bawah sajak rinduku----
Readmore → Di Bawah Sajak Rinduku

Selasa, 18 Februari 2014

Kreasi BMI


Readmore → Kreasi BMI

Penari Tiong Hoa







Readmore → Penari Tiong Hoa

koleksi Daun



Readmore → koleksi Daun

Pilihan




Readmore → Pilihan

ultahku 31



Readmore → ultahku 31

Love is Wonderful live







Readmore → Love is Wonderful live

Kura kuraku




Readmore → Kura kuraku

Koleksi Koinku





Readmore → Koleksi Koinku

pukul 8






Readmore → pukul 8

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER