Jumat, 15 Agustus 2014

Nada Terakhir (Cerpen)

Cerpen ini aku dedikasikan buat Almarhum Sukma yang telah berpulang kepada-Nya tiga belas tahun silam. Semoga kamu bahagia di sana.


Oke, Cekidot dan selamat membaca. Jangan lupa tinggalin komen atas tulisanku yang amburadul ini.


Hembusan angin menggerak-gerakkan dedaunan di sepanjang jalan yang kulewati. Membuat helaian dedaun itu jatuh berguguran satu per satu hingga berbaur dengan tanah. Aroma hujan tadi pagi masih jua terasa membekas. Jalanan ini masih tampak sepi di senja yang mulai menampakkan biasnya. Aku berdiri tertegun di samping pohon beringin yang seolah membisu menatapku.

Sejenak, kutatap cakrawala yang mulai menguning. Semburat matahari dibilik senja membuatnya nampak penuh warna. Tidak ada pelangi seperti apa yang kubayangkan selepas hujan pergi. Semua terasa sunyi, hanya ada suara burung gagak yang sekelebat melintasi tapal batas pandanganku. Lama, aku memandang pesona alam yang begitu mengagumkan hingga perlahan langkahku kian menjauh dari tempatku berpijak.

Tak terasa kini aku telah sampai di depan gapura rumah sakit Dr. Soetomo. Angin menghantarkanku kembali ke tempat ini lagi, tempat di mana kamu menghabiskan hari-harimu selama dua tahun terakhir melawan penyakit mengerikan itu.

Kulangkahkan kaki menyusuri koridor-koridor gelap nan panjang, mengikuti setiap anak panah yang menunjuk ruangan yang sedang kutuju. Detak jarum jam begitu terasa menggema. Berpacu dengan derap langkah para pengunjung yang ingin segera melihat kerabatnya dari balik pintu yang tertutup ini.
Wajah-wajah muram bagai gelap malam tanpa penerang itu hanya mampu mendesah pelan sembari bersandar di tembok beton yang dingin.

Aku berhenti tepat di sebuah ruangan bertuliskan nama Kenanga. Sebuah nama bunga yang akrab dengan aroma kematian. Aku terdiam sejenak. Memikirkan kata-kata yang tepat untuk kuutarakan padamu hari ini. Aku mematung dari balik pintu kamarmu yang setengah terbuka. Kudapati suster berambut sebahu itu sedang membantumu duduk di kursi roda. Kamu makin terlihat pucat seperti wajah rembulan di siang hari. Hanya rona merah pada biola yang kini berada dalam pelukanmu yang sedikit merubah raut wajahmu itu. Layaknya senja yang selalu kamu kagumi. Begitu meneduhkan. Aku tertegun menatap sosokmu yang kini semakin kurus. Rambutmu yang biasanya tergerai panjang kini sudah dipangkas tanpa bekas. Penyakit itu rupanya telah menjalar sempurna keseluruh tubuhmu. Menjadikanmu manusia yang hidup tapi sejatinya jiwamu telah mati. Aku tersenyum menatapmu, kamu masih terlihat cantik di mataku, Kenanga. Ya, namamu adalah Kenanga. Kamu yang telah banyak merubah hidupku sejak pertama kali kita bertemu.

''Ryan, sini!'' seru-mu memanggilku. Kamu memang selalu bisa merasakan kedatanganku. Aku pun mengangguk dan mendekat ke arahmu. Aku terdiam cukup lama, menatapmu hari ini membuat dadaku semakin sesak. Garis lingkar matamu semakin menghitam dan terlihat cekungan yang amat mendalam di sana. ''Kenapa? Ada yang aneh denganku'' tanyamu dengan tatapan sendu. Aku menggeleng lemah. Bibirku kelu tak mampu menjawab kata-katamu. Aku sungguh tak berdaya menatap keadaanmu hari ini, kekasihku.

''Ryan, aku ingin menatap senja, mau kah kamu mengantarkanku ke taman belakang?'' pintamu padaku. Pandanganmu seakan kosong menatap semburat senja itudari balik jendela kaca kamar ini.

''Tapi kamu nggak bisa pergi dari ruangan ini.''

''Ayolah, sekali saja. Aku ingin sekali menatap senja bersamamu,'' rengekmu.Kupandangi suster yang sejak tadi duduk di sudut ruangan. Berharap dia memberi solusi atas permintaan kekasihku ini.

''Pergilah, tapi sebelum jam enam kalian harus kembali kesini," suster itu pun akhirnya ikut bicara. Kamu terlihat bahagia mendengar jawaban suster itu. Bersorak-sorak seperti anak kecil yang telah memenangkan lomba.

Lalu, aku pun membawamu ke taman belakang, tempat yang paling kamu suka jika merasa sepi tanpa kehadiranku. Di koridor tadi kutatap wajah muram orang-orang yang menatapmu. Mereka memandangmu penuh iba atau mungkin mereka tengah bertanya-tanya penyakit apa yang sedang menyergapmu saat ini. Hingga membuat tubuhmu yang dulunya sempurna, kini nyaris terlihat seperti tengkorak hidup. Ah, kamu masih tetap setia menahan senyum sumringah itu. Seolah ingin menunjukkan ketegaranmu pada mereka. Namun dibalik semua itu, aku tau kamu rapuh. Aku tau kamu ingin menjerit. Karena aku bisa merasakan sakitmu, Kenanga.

''Kamu percayakan, Tuhan tidak akan mencoba makhluknya sebatas kemampuan yang mereka miliki. Jika sekarang aku masih hidup. Berarti aku masih mampu melewatinya.'' Kamu mencoba membuka pembicaraan. ''Tapi nanti, jika nafas ini terputus dan detak jantungku tiada lagi terdengar, yakinlah bahwasanya aku telah damai berada bersama-Nya. Bukankah kematian adalah sebuah keuntungan,'' lanjutmu sembari menghela nafas, panjang. Binar-binar semangat masih jua utuh bertahan di jiwamu. Seolah kamu masih sanggup melawan penyakit mengerikan itu, sendiri.

Leukimia, penyakit itu kini tengah bersarang di tubuhmu. Dokter bilang hidupmu tidak akan lama. Walau berbagai macam pengobatan telah kamu lalui namun kenyataannya tetap saja, sel kanker itu semakin menjalar dan menggerogoti sisa umurmu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menemanimu menjalani segala rutinitas kemoterapi, yang katamu merupakan siksa Tuhan yang paling nyata di dunia. Kamu jadi tidak bisa makan karena reaksi obat itu selalu membuatmu muntah. Keluargamu yang kaya raya pun jatuh bangkrut karena harus membiayai seluruh pengobatan yang kamu jalani. Memang benar, satu belokan kecil saja mampu merubah hidup secara fatal. Tapi mereka tidak peduli. Asalkan kamu tetap bisa bertahan.

''Kamu memang gadis yang amat kuat Kenanga,'' bisikku lirih. Berharap angin mampu menyampaikan rasa ini padamu, kekasihku. Aku tak mampu berkata banyak hal lagi denganmu. Mendengar tutur katamu saja membuat dadaku sesak. Berulang kali kutahan air mata agar tak jatuh. Kenanga, betapa aku tersiksa atas semua ini.

''Lihatlah, dunia ini begitu penuh warna, bukan?'' katamu sesampainya di taman belakang. Pandanganmu lurus menatap cakrawala yang telah menjingga. ''Seperti halnya pelangi di angkasa yang begitu indah. Kamu dapat menikmatinya walau hanya sesaat setelah hujan menyapa bumi tentunya.'' Kamu terdiam. Rasanya kamu begitu senang hari ini. Jemarimu yang lentik itu, kamu ulurkan  ke atas seperti ingin meraih sesuatu di puncak sana dan memberikannya padaku. ''Namun, hanya seper sekian persen saja pelangi itu bisa dipastikan ada. Kehidupan di dunia ini pun sama, terlihat astral walau nyata. Sejenak kita dapat menyinggahinya walau pada akhirnya kita pun harus pergi. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk segera berlalu dan berucap selamat tinggal pada waktu,'' lanjutmu lagi. Aku terdiam sejenak, termangu oleh penuturanmu yang semakin membuatku sakit. Aku tak mampu menitihkan air mata walau jiwa ini tengah menangis.

''Ryan,'' panggilmu yang menghenyakkanku dari lamunan. ''Aku ingin memainkan satu lagu untukmu. Kamu mau membantuku berdiri?''

''Oh, Ten...tu...'' jawabku tergagap. Tanpa pikir panjang aku membantumu menjejakkan kaki di rerumputan ini. Dan lagi-lagi kamu tersenyum kepadaku. Senyuman yang mampu membuatku bertahan bersamamu.

Lalu, kamu mulai menggesek biola itu. Perlahan menikmati setiap alunannya. Katamu, nada itu adalah instrumen lagu dari Johann Pachelbel - Canon D Major. Lagu yang menginspirasimu untuk tetap bertahan. Kamu yakin bahwa suatu nanti kamu dapat bersinar, layaknya orion di malam hari. Bintang yang paling terang di jagad raya ini. Bintang yang terus menyala walau di belahan dunia yang berbeda.

Gesekan biolamu semakin membuatku terhipnotis, aku larut dalam angan yang panjang. Batinku semakin damai mendengar lantunan nada itu. Mataku terpejam menikmatinya. Lama aku berada di alam yang tidak aku sadari. Hingga pada akhirnya aku tersentak oleh jerit tangis orang-orang yang memanggilku.

''Ryan..! Bangun, Ryan...!'' teriak ibu memanggilku. Jerit tangis orang-orang disekitarku pun membuatku diambang batas kesadaran. Mataku perlahan terbuka namun tubuhku tak bisa bergerak, seperti terpasung dalam balok kayu. Bibirku tak bisa berkata apa pun walau mataku melihat mereka. Aku masih sempat bingung kenapa aku berada di tempat ini. Hingga pada akhirnya aku mengerti. Aku tidak tau kenapa waktu begitu cepat melesat. Kecelakaan itu membuat ruhku terpental jauh dari jasadku yang remuk karena menghantam pohon beringin, lima belas meter dari rumah sakit ini. Aku tidak mampu berbuat apa-apa ketika malaikat itu begitu beringas dan tegas menarik ruhku dari jasadku. Kala itu aku hanya bisa pasrah dan berharap bisa bertemu denganmu, Kenanga. Dan memberikan cincin ini padamu.

''Kenanga... Di mana kenanga? kenapa kamu tidak berada di sini?'' batinku masih saja berontak mencarimu. Air mataku mengalir begitu saja. Ah, mungkin kamu tidak tau aku di sini sekarang. Aku ingin sekali menemuimu saat ini namun aku tak sanggup. Melangkah pun rasanya berat. Kudengar nada monitor pendeteksi jantung berdenting silih berganti. Menimbulkan nada yang begitu menakutkan. Jerit tangis mereka kian memekakkan telinga. Aku bungkam. Mataku tertutup. Nafasku sudah tidak beraturan lagi hingga nada terakhir itu berbunyi.

'' Ting......''

***

Kenanga, kutitipkan surat kecil ini pada tempias hujan yang  menyapa jendela kamarmu. Agar kamu mendengar ketukan rasa yang selama ini membeleggu jiwaku. Sebait rasa yang belum sempat kusampaikan padamu, kekasihku. Rasa yang pernah kutahan sekian lama, hingga nyaris bibir ini tak mampu mengatakannya. Namun, hari ini kuberanikan diri untuk menyapamu lewat sajak rindu yang telah kupintal untukmu. Sesaat tadi aku mendengar lantunan nada-nada indah itu lagi. Petikan nada yang kamu mainkan sebelum aku pergi dari taman senja itu. Gesekan nada biolamu yang begitu mendamaikan hati. Menghantarkanku hingga langit ketujuh, tempat di mana nantinya kita akan bertemu. Sebuah nada yang menggetarkan seisi cakrawala. Hingga air matanya pun ikut tumpah mengiringi rintihanku. Andai aku bisa mendekapku saat ini. Ingin kubawa engkau melihat pemandangan yang indah, yang selalu kamu impikan itu, kekasihku.

Kini, aku dan kamu tengah berada dalam takdir yang rumit, seperti orang yang saling bertautan satu dengan yang lainnya. Rasanya, sekarang dunia kita berbeda. Kematian telah lebih dulu menjemputku. Detak jantungku tiada lagi terdeteksi. Dokter telah berusaha semampunya untuk menolongku. Dan ini lah hal terbaik yang dipilihkan Tuhan, aku berada dalam satu garis lurus untuk pulang kepada-Nya. Aku menyayangimu Kenanga, kutunggu engkau selalu di pintu Surga-Nya.

Surabaya, 18 Februari 2005




4 komentar:

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER