Senin, 18 Juni 2018

Pak De Sebuah Curhatan Anak Rantau

Pak De - Sebagian besar Pekerja Migran Indonesia di Hongkong memanggil Polisi dengan sebutan PaK De.Bisa jadi, orang Jawalah yang menyematkan sebutan ini pada mereka. Yah, kalau nggak orang Jawa siapa lagi coba. Nggak mungkin kan orang Batak manggil Pak De, paling juga Tulang. Tulang sapi. Tulang iga, Tulang Rusuk. #eh ini nggak berlaku ding.

Awalnya, aku juga bingung, kenapa bisa dipanggil Pak De. Ternyata, sebutan itu adalah kode keras agar para penjual / pekerja (Ilegal) segera lari atau setidaknya bersembunyi jika ada Pak De lewat. Soalnya, jika mereka lewat dan gesture kita mencurigakan, pasti langsung dimintain safencing / KTP Hongkong. Ya, kalau nggak salah sih nggak perlu takut. Tapi ya bagi sebagian pekerja yang melanggar aturan kerja pastilah grogi dan salah tingkah. Macam orang lagi PDKT. #Tsahhh

Oh ya, Babu seperti aku ini, sebenarnya dilarang keras untuk berjualan baik online atau terang-terangan di Hongkong. Soalnya, visa kerjanya beda dan hukum di Hongkong melarang hal yang sedemikan itu bagi domestic helper. Makanya, jika sampai terciduk sama Pak De, siap-siap saja masuk hotel prodeo. Paling minim masuk sana itu 1-3 bulan. Ini minimal loh ya. Sayang banget kan. Tapi ya yang namanya maling pasti lebih pinter daripada polisi. (ini arti kiasan, ntar yang nggak ngerti arti kiasan salah tompo) :D

Minggu, 17 Juni 2018, sekitar pukul 3.30 sore, aku ketemu Pak De di depan pintu mau Commercial Building, CausewayBay. Dandananya rapi tapi nggak ngepres body. Yah, masih ada longgar-longgarnya gitu tuh baju. Jadi nggak memperlihatkan perutnya yang SIX PEX atau bahkan Wan Pex. Seperti biasa, dijam seperti itu, biasanya Pak De keliling. Aku seperti sudah paham jadwal-jadwal mereka. Maklumlah, dulu (pada masanya jualan) mataku seperti elang yang memantau setiap gerak-gerik mencurigakan. Kuping ini seperti sudah dialarm jika mendengar kata Pak De yang dinaikan 7 oktaf. Saling sahut menyahut. :D

Nah, sore kemarin, mereka berpencar. Sebagian melewati sisi kiri Indomarket lama, sebagian lagi dari arah restoran sedap gurih. Aku yang saat itu sedang memarkirkan Mama mendadak kaget bin ngesakne. Satu koper dagangan langsung diciduk Pak De. Beberapa penjual yang sememangnya berdagang di sekitaran tempat itu, langsung menutup barang jualanannya dengan kain yang sememangnya sudah dipersiapkan. Satu koper yang berada di pojokan itu langsung diangkut, beruntung saat itu tidak ada si embak yang menjaganya. Lawong kopernya dibiarkan terbuka plus orang e nggak tau ke mana. Nah, setelah terciduk, si embak yang kemungkinan besar pakai baju pink itu datang. Tapi aku nggak bisa memastikan, apakah itu benar barang punya dia atau bukan. Lha, mau tanya gimana coba, untuk mendekat pun aku masih dag dig dug. Takut ikut terciduk :D



Di detik yang kesekian setelah kejadian itu – dari arah berlawanan - Pak De mengangkut seplastik besar. Entah apa isinya, dugaanku sih ya barang dagangan. Lha masak sih, Pak De mau-maunya ngangkutin sampah di jam sesibuk itu. Logikanya.

Aku yang melihat dua kejadian itu dalam satu waktu langsung ikutan ngenes. Eh ini bukan filmnya koh Ernes. Bukan, bukan itu. SUngguh ini nyata adanya. Bayangkan saja, barang dagangan itu, jika ditaksir nilainya bisa 1 bulan gaji. Mungkin, bahkan lebih.

Duh, namanya juga apes. Mau gimana lagi coba. Kita nggak bakalan tahu kejadian di detik keberapa kita mengalami keapesan macam itu. Entah sudah dialarm untuk berhati-hati tapi ya jika sudah apes mau gimana lagi. Huft.

Sungguh, aku nggak mau menjudge orang-orang seperti mereka. Soalnya, aku juga pernah menggeluti dunia yang sama. Bukan karena kurang duit atau kurang bersyukur atas gaji yang kudapat seperti yang dibilang sama mbak-mbak yang pro “jangan jualan di Hongkong, kayak gajinya kurang saja.” Sungguh, mbak bukan itu yang kucari.

Alasan utama aku berjualan karena aku ingin lebih banyak berinteraksi dengan orang lain. Maklum saja, aku ini pemalu. Wkwkwkwk. Aku itu isin plus takut sakjane mbak jualan macam mereka. Malu karena belum terbiasa, takut jika lagi apes terciduk.

Kalau nulis macam sekarang ini saja aku berani. Mau gaya frontal atau calm pun, aku bisa. Tapi kalau buat ngomong dan berinteraksi secara gila-gilaan, Ampun DJ, aku itu kurang PD. Keseringan maju mundur syantik. Ala-ala princess gitu.

Stop !!!

Nglanturkan jadinya. Kembali ke Pak De dan beberapa kasus yang telah terciduk.

Masyarakat Hongkong itu, sememangnya banyak yang protes akan hal ini. Ya, nggak protes gimana coba, area Hongkong (terkusus di jalanan CausewayBay, jembatan Mongkok, jalanan di seputaran Tsuen Wan Dll) itu, trotoarnya sempit. Sebagian buat jalan, sebagian lagi full dagangan pekerja migrant. Bisa di bilang, the kampong Victoria yang satu ini adalah tanah abangnya Hongkong. Tau sendiri kan Tanah Abang ruwetnya cemana. Banyak yang melanggar aturan dengan jualan di trotoar. Yah, macam mereka ini. Tapi sungguh, aku nggak menyalahkan atau membela mereka-mereka ini. Aku yakin, mereka punya alasan-alasan yang sememangnya tak bisa mereka ungkapkan. Karena

“Tak perlu bersikeras menjelaskan siapa dirimu, karena orang yang mencintaimu tak membutuhkan itu, dan orang yang membencimu tak akan percaya itu” (Ali bin Abi Thalib RA)”

Saat ini, aku mencari jalan aman. Tetap jualan meskipun nggak sefrontal dulu. Alhamdullilah, masih tetap ada yang mesen buku meski kita nggak saling ketemu. Ya, karena aku pakai jasa pake BAI yang bisa membantu memperlancar jualanaku. :D Sorry, Promo dikit.

Kawan… di mana pun kalian. Semoga, kita bisa lebih berhati-hati dalam bertindak, bertutur kata dan menjaga sikap di negeri yang menaungi kita saat ini. Ingat, kalian bukan warga PAPERAN. Masih ada kampong sebagai tempat tujuan pulang.

Semoga tulisan ini mencerahkan kalian. Bagi yang capek baca, nggak perlu dilihat plus dikomen panjang amir. LEWATIN AJA. :D

Dilarang debat kusir :D

Status ini telah di Share di Facebook Zhiang Zie Yie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER