Sepagi itu, aku sudah berada di kawasan Sunan Ampel, Surabaya bagian timur. Hiruk pikuk pagi hari
begitu terasa di kota ini. Bejibun kendaraan bermotor bersatu padu memacu laju
kendaraan mereka. Aktifitas pagi yang menyibukkan tentunya. Aku bahkan tak bisa
menyeberang jalan. Jauh berbeda dengan apa yang ada di Hongkong. Di mana selalu
terdapat tempat penyebrangannya. Andai saja tak ada tangan itu, yang setia
menggenggam tanganku, mungkin bisa berjam-jam aku berdiri di sisi jalan sembari
mengawasi lalu lalang kendaraan.
Oh ya, aku juga banyak menemukan hal-hal seru yang belum
pernah kulihat sebelumnya. Seperti penjual nasi pecel menggunakan mobil.
Berderet-deret di sepanjang jalan. Kata sahabatku hal ini sudah lama terjadi.
Ya, maklumlah, aku sudah tak berada di Indonesia sejak enam tahun lalu. Bagiku
perubahan sekecil apapun tetap membuatku merasa aneh.
Setelah menikmati jalanan Surabaya yang padat, aku segera
menunaikan janjiku untuk bertemu dengan mbak Ut. Seseorang yang banyak
membantuku dalam urusan perbukuan. Ternyata orangnya canti dan cukup tinggi. Sayang
nggak bisa banyak cakap di sana. Jam segitu mbak ut masih kerja. BTW thanks
banget buat mbak e yang banyak membatu dan makasih udah dikasih oleh-oleh.
Lepas dari Ampel, aku melanjutkan perjalanan ke Kenjeran.
Apa kau pernah datang ke sini? Aku sih baru pertama kali ini dan itu pun hanya
muter-muter jalannya saja. Tak lama aku di sana, karena siang itu juga, aku
harus segera pulang ke Tulungagung. Perpisahan dengan lelakiku pun ku akhiri
sampai di sini.
Perjalanan pulang menuju Tulungagung, alhamdullilah sangat
mulus. Banyak banget kejadian tak terduga yang kutemui setiba di Indonesia.
Banyak sekali tangan-tangan malaikat yang membantu kepulangan pertamaku ini.
Pertama saat lepas landas dari Hongkong. Saat tubuh ini tiba-tiba sakit. Lalu
setiba di Indonesia, hampir saja kehilangan dompet yang isinya barang-barang
penting semua. Alhamdullilah semuanya dapat kembali. Aku tak bisa membayangkan
jika dompetku tak kembali. Mungkin aku tak bisa menceritakan hal ini sekarang.
Bertolak ke TUlungagung menggunakan bus Harapan Jaya itu
emang sesuatu banget. Empat jam
kebut-kebutan di jalanan, membuat jantungku serasa mau lepas saja. Hal semacam
ini tak pernah kurasakan di Hongkong. Kecuali pas naik rolling coaster di Ocean
Park. Tapi ini lebih ngeri lagi. Cuma bisa bersholawat di sepanjang jalan.
Ngeri-ngeri sedap pokoknya. Alhamdullilah nggak mabuk darat. Biasanya sudah
koyak perut ini jika naik bus.
Ada tetanggaku yang mencibir, “wong balik ko Hongkong kok
numpak bus. Kelarangen ye lek numpak
travel?”
Bagiku naik apapun asal selamat sudah cukup. Dan mereka
nggak tahu rupanya. Di dalam bus itu kita bisa menikmati hidup yang sebenarnya.
Banyak juga hal menarik yang kutemukan. Contohnya saja, di sepanjang jalan aku
bertemu dengan seorang gadis yang ingin pergi juga ke luar negeri. Gadis yang
kurasa masih belia itu menceritakan banyak alasannya kenapa ingin merantau. Ah,
tak perlu kuceritakan tentu alasannya, bukan? Yang jelas Cuma doa agar dia bisa
sukses nantinya.
Bukan Cuma itu saja yang kutemukan siang itu dalam bus yang
membawaku ke tanah kelahiranku. Kalian masih ingat bayi yang katanya dibius dan
diajak wara-wiri menjadi peminta-minta? Ah, aku juga menemui hal yang demikian.
Tapi bersyukur si Ibu tak member obat bius pada bayinya. Bocah dalam
gendongannya yang kutaksir berumur tiga bulan itu begitu anteng dalam gendongan
ibunya. Matanya bulat dengan senyum yang menggemaskan. Ah rasanya pengen sekali
mengecupnya. Tak ada foto yang bisa kuabadikan, jangan bilang Hoak ya, soalnya
aku menulis dengan kejujuran :D eh
Ada juga dua orang pengamen ganteng yang sempat aku abadikan
lewat kamera tangan. Permainan biola plus harmonicanya sungguh enak didengar.
Kapan-kapan aku upload di youtobe deh. Nunggu wifine Simbok dulu.
Setiba di Tulungagung, kedua orang tuaku sudah menjemputku
di BTA. Hari itu, untuk pertama kalinya, sejak enam tahun lalu aku tak bertemu
dengan mereka. Bapak dan mamak, kini sudah tak sebugar dulu. Tapi masih tetap
eksis di dunianya. Ada perubahan besar yang kulihat dari sorot mata Mamak.
Beliau sudah tak setegar dulu. Kini banyak takutnya. Sejak alm. Simbah pergi,
ke mana-mana harus ada yang mendampingi. Bahkan di siang bolong pun juga
begitu. Ah,perpisahan itu memang bisa merenggut sebagian jiwa kita.
“Jangan bilang jiwaku tak terluka jika kau melihat kematian
itu di depan mata.”
Begitu juga yang dirasakan Mamak. Aku sebegai anak perempuan
satu-satunya pun bisa merasakan hal itu. Beruntung, bapak memahami kondisi
mamak sekarang. Aku tak perlu was-was lagi dengan sifatnya yang sekarang suka
gupuhan bila mendengar kabar buruk.
Waktu memang cepat melesat namun kasih sayang Mamak padaku
tak pernah berubah sedikit pun. Masih sama seperti saat aku kecil. Walau segede
ini, mamak masih ingat bila beliau makan aku pasti disuapin. :D itu yang
membuatku selalu kangen padanya.
“Umur bukanlah penghalang untuk mengungkapkan kasih sayang.”
#Bapak&Mamakku