Senin, 08 Mei 2017

Balada CInta Nyi Roro Kembang Sore


                Dahulu kala, hiduplah seorang gadis nan cantik jelita dari daerah Tulungagung. Dia adalah seorang resi atau pendeta bernama Winadi, yang tak lain dan tak bukan adalah sosok Nyi Roro Kembang sore. Putri dari Pangeran Bedalem dari dukuh Bonorowo Dia memutuskan untuk menjadi seorang resi dan bertapa di gunung CIlik setelah seseorang yang amat dicintainya tewas, dibunuh oleh Kyai Kasan Besari dan Pangeran Bedalem. 

                 Sungguh kisah cinta yang amat memilukan.


                 Penghianatan yang dilakukan oleh Kyai Kasan Besari terhadap gurunya Kyai Pacetlah yang menjadi awal mula kisah ini. Kyai Besari yang terkena hasutan Pangeran Kalang (paman dari Nyi ROro Kembang Sore) untuk membangkang dan membuat perguruan sendiri dengan aliran hitam inilah yang membuat Kyai Pacet murka.
           
                 Kyai Pacet akhirnya menyuruh putra mahkota majapahit dan muridnya untuk menangkap Kyai Kasan Besari. Namun, tak dinyana. Putra mahkota tewas saat bertarung dengan Kyai Kasan Besari. Raja Majapahit yang mendengar bahwa putra Mahkota tewas terbunuh, memerintahkan Pangeran Lembu Peteng untuk mencari keberadaan Kyai Kasan Besari.

Ilustrasi Pangeran Lembu Peteng

                  Namun, di tengah pencariannya. Justeru Pangeran Lembu Peteng ini bertemu dengan sosok perempuan nan cantik jelita, bernama Nyi Roro Kembang Sore. Cinta pada pandangan pertama inilah yang membuat mereka berdua lupa akan bahaya yang mengintai mereka.

                  Pangeran Lembu Peteng lupa akan tugasnya untuk mencari Kyai Kasan Besari. Dia justeru tengah dimabuk cinta oleh kecantikan Nyi Roro Kembang Sore. Pangeran Kalang yang mengetahui hal ini, memberitahukan pada Pangeran Bedalem yang tengah bersembunyi di Ringin Putih. Pangeran Bedalem murka dan terjadilah pertarungan antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Namun, hasilnya imbang. Dan mereka berhasil kabur dari pengejaran.

                  Nyi Roro Kembang Sore dan Pangeran Lembu Peteng memutuskan untuk lari ke Majapahit. Namun, di tengah perjalanan, pertarungan itu terjadi lagi. Pangeran Bedalem yang tak terima, meminta bantuan pada Kyai Kasan Besari untuk membunuh Pangeran Lembu Peteng. Pertarungan sengit yang tak seimbang itupun akhirnya membuat tumbang Pangeran Lembu Peteng. Dia tewas dan jasadnya dibuang di sungai. Dan sungai itu yang sekarang terkenal dengan nama Sungai Lembu Peteng.

Penampakan Sungai Lembu Peteng 


                  Tak terima akan perbuatan ayahnya, Nyi Roro Kembang Sore memutuskan untuk pergi meninggalkan ayahnya. Hatinya begitu sakit dan hancur karena cinta pertamanya tewas di depan kedua matanya sendiri. Nyi Roro Kembang Sore terus berlari hingga akhirnya dia berhenti di suatu desa bernama desa Dadapan. Di desa itu, tinggalah mbok Rondo Dadapan dan Anaknya Joko Bodho. Mbok Rondho Dadapan mengijinkan Nyi ROro Kembang Sore untuk tinggal bersamanya.

Ilustrasi Mbok Rondo Dadapan (Reupload Google)

Ilustrasi Joko Bodho (Ediied By Me)



Joko Bodho yang melihat kecantikan Nyi Roro Kembang Sore pun akhirnya jatuh hati padanya.


        Berulangkali, Joko Bodho menyatakan cintanya pada Nyi ROro Kembang Sore. Namun, hanya penolakan yang didapat. Tak patah arang, hari demi hari Joko Bodho tetap melakukan hal yang sama. Dan Akhirnya, Nyi Roro KEmbang Sore memberikan sebuah syarat.

“Selama empat puluh hari, empat puluh malam, kamu harus bertapa di bukit dan kepalamu harus ditutupi dengan cikrak. Jangan pernah kembali ke sini jika semua itu belum kau penuhi.”

          Dasarnya orang bodho dan kadung cintrongnya sama Nyi Roro Kembang Sore, maka Joko Bodho ini pun menyanggupi permintaannya.Sore itu mereka berpisah. Nyi Roro Kembang Sore menuju ke –gunung CIlik- arah barat. Dan Joko Bodho ke arah Selatan.


                          Mbok Rondho Dadapan yang mengetahui mereka berdua tak ada di rumah, panic. Mbok Rondho mencari Joko Bodho yang tengah bertapa di sebuah bukit. Saat melihat anaknya bertapa menghadap arah barat dengan ditutupi cikrak, marahlah dia. Berulangkali, Joko Bodho dipanggil, namun tetap saja tak menggrubris mbok Rondho dadapan. Dia masih memegang teguh janjinya untuk bertapa sesuai syarat yang diajukan oleh Nyi Roro Kembang Sore. Emosi mbok Rondho Dadapan kian memuncak. Dan keluarlah kata-kata murka itu.

“Joko Bodho…! Ditange’ke kok malah njigideg koyo watu to…!” Joko Bodho…! Dipanggil kok diam saja kayak batu.

                   Langit tiba-tiba bergemuruh. Bumine gonjang ganjing. Halilintar menyambar-nyambar. Dan akhirnya mengenai Joko Bodho. Mbok Rondho Dadapan yang tak sengaja mengeluarkan amarahnya, seketika menangis tersedu. Melihat anaknya berubah menjadi batu. Dan tempat itu kini dikenal dengan nama Joko Budheg. Nyi Roro Kembang Sore yang telah mempunyai firasat sebelumnya hanya bisa berpasrah melihat segala kejadian itu dari kejauhan. Joko Bodho berubah menjadi batu. Dan, tempat itu dikenal dengan nama Batu Joko Budheg atau Gunung Budeg. Yang berada di desa Boyolangu, Tulungagung, Jawa TImur.

Foto ReUpload Google 

          Nyi Roro Kembang Sore memutuskan untuk bertapa di Gunung Cilik sampai akhir hayatnya. Dia memutuskan untuk tidak menikah. Terlalu sakit, mungkin. Ah, begitulah cinta. Deritanya memang sungguh tiada tara.

          
            Begitulah kiranya cerita Nyi Roro Kembang Sore. Kapan-kapan kalau ada waktu bakalan aku update lagi :D ini sebagai ilustrasi aja. Kalau ada yang berasal dari Tulungagung bolehlah ikutan buat review.

             Dan aku tambahkan video di bawah ini sebagai visualisasi cerita di atas. :D Alhamdullilah, bisa mendapat juara pertama dalam lomba DOngeng nusantara yang diadakan oleh KOTEMA. Komunitas Teater Matahari Hongkong.



Buat yang belum baca cerita seru perjuangan buat ikutan lomba Dongeng Nusantara, bisa klik dan baca di link ini :

Euforia Lomba Dongeng Kotema (KOmunitas Teater Matahari)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER