Senin, 03 April 2017

Cerpen Festival Sastra Migran Indonesia (FSMI) : Janji Pelangi Di Banyu Mulok

Cerpen Yang Tayang Di Berita Indonesia Hongkong



Deburan ombak kian kuat menghantam batu karang. Sesekali tempiasnya menyapu wajahku. Entah, sudah berapa lama aku berdiri di sana. Mematung, menatap ombak yang bergemuruh di lautan lepas. Memekik, berdentum, bagai lantunan instrument musik yang menyayat ulu hati.

Angin dari segala penjuru arah dengan pongahnya menghempaskan rambutku. Membuatnya koyak tak beraturan. Tangan ini kian gemetar ketika detak jarum jam mulai menunjukkan waktu di mana aku harus bisa menerima segala kenyataan yang ada.

“Haruskah aku pergi dari tempat ini? Dan melepaskan segalanya begitu saja.”

Sekilas kutatap birunya cakrawala, tampak kosong tanpa adanya mega. “Sekosong itukah hatiku,” gumamku dalam hati. Bulir air mata yang sedari tadi kubendung akhirnya tumpah jua. Aku terduduk, di hamparan rerumputan. Tergugu dalam pilu.

***

Hari ini, terik mentari begitu menyengat kulit. Serasa tepat berada di atas kepala. Pukul dua belas siang, kami melanjutkan perjalanan ke arah selatan, kota Tulungagung. Ini adalah trip pertamaku dengannya. Gadis yang ada di belakangku saat ini, adalah sahabat sekaligus cinta pertamaku semasa kecil.

Kini, dia sudah beranjak dewasa rupanya. Waktu melesat begitu cepat ternyata. Hingga merubah segalanya dalam jangka yang sekejap. Dia nampak cantik dan anggun. Deretan giginya yang putih dan senyumnya yang berlesung, kian menambang rona cantik di wajahnya.

Dua puluh tahun, aku tak melihatnya. Bisa dibayangkan, betapa rindu ini tak bisa lagi dibendung. Saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah kelahiranku, Tulungagung,  dialah orang yang pertama kali ada dibenakku.

Setelah dua jam berpacu dengan waktu, akhinya kami sampai di tempat yang dijanjikannya padaku. Tebing Banyu Mulok.  Sebuah hamparan rerumputan nan hijau dengan view lautan lepas, semakin menambah keeksotikan tempat ini.

“Apakah kamu tahu?” gadis bermata cokelat di sampingku terdiam sejenak,  menatap lurus ke arah laut lepas. “Di waktu yang sama ketika terik mentari tak sedang bersembunyi, kita bisa melihat pelangi di sini, tentu  tanpa harus menunggu hujan pergi.”

Aku menoleh ke arahnya. “Maksudmu, aku tak harus menunggu hujan datang untuk melihat pelangi di sini?” gadis itu pun mengangguk.

“Sttt… tapi jika kita beruntung,” lanjutnya diiringi gelak tawa. Deretan giginya yang putih dan sebuah lesung pipit yang terbentuk di wajahnya yang merona, kian membuat gadis di sampingku ini bagai bidadari yang jatuh dari khayangan.

“Ah, dasar kamu ini.” Kucubit pipinya, gemas. Dan gadis ini hanya bisa meringis saja.

Namanya An Zhen. Aku biasa memanggilnya Zhen. Gadis keturunan Tiong Hoa inilah yang banyak mengenalkanku pada indahnya bumi Indonesia. Tanah kelahiranku, yang sejatinya tak banyak kukenal. Lama berada di negeri orang, membuatku lupa akan keindahan yang sejatinya bisa kudapatkan di negeri kelahiranku sendiri, Tulungagung.

“Sebentar lagi, kamu akan melihatnya,” kata Zhen yang sontak membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arahnya. Dilirik arloji hitamnya. Dan dia mulai menghitung mundur dari angka sepuluh hingga nol. Dan, sebuah pertunjukan bagai orkestra pun dimulai. Semburat pelangi dari ujung tebing timur dan dari ujung barat mulai muncul dan bersatu di tengah-tengah tebing.

Ombak yang menghantam tebing karang itu menjulang ke langit. Silih berganti, antara satu tempat ke tempat lain di sepanjang ‘Bukit Banyu Mulok.’

It’s amazing.

Mataku  berbinar-binar melihat kejadian yang sungguh membuat jiwaku bergetar. Ini kali pertama aku melihat kejadian yang sangat menakjubkan. Di hamparan rerumputan nan hijau yang di hadapannya terbentang laut lepas tanpa batas. Laut yang menghubungkan Indonesia dengan Samudera Hindia. Dan laut yang mempertemukanku kembali dengan Zhen.

“Bagaimana, kamu suka?” Aku menoleh ke arahnya dan mengangguk sebagai jawaban iya-ku. “Suatu saat aku ingin dilarung di tempat ini. Bertemu dengan ombak dan menyatu bersamanya,” lanjutnya.

Kini pandanganku terfokus pada Zhen. Gadis itu sibuk merapikan rambutnya yang tergerai berantakan.  “Apa maksudmu?” Zhen menoleh ke arahku . Senyumnya mengembang.

“Dalam tradisi keluarga kami. Pelarungan jenasah itu sangat baik dilakukan di tempat-tempat yang indah.” Zhen terdiam sejenak. “Aku telah berpetualang kebanyak tempat dan akhirnya menemukan tempat ini. Bukankah kamu bisa melihatku sebagai pelangi ketika aku tak ada di sismu nanti.”

Ada rasa yang mengganjal ketika gadis berusia dua puluh lima tahun itu berucap demikian. Sorot matanya yang tadinya teduh, kini berubah tajam. Seolah, dia telah mengetahui apa yang sebenarnya akan terjadi.

“Antarkan aku ke Goa Tan Tiek Soe ya, Ham. Aku ingin berada di sana beberapa hari,” pintanya. Dengan manjanya, Zhen mulai bergelanyut di lenganku. Aneh, tapi aku juga tak mampu untuk menolak permintaannya.

Matahari kian beranjak tenggelam. Menggoreskan semburat jingga di langit yang tadinya membiru. Zhen menggenggam tanganku di sepanjang perjalanan. Aku dapat merasakan kegusaran dalam hatinya.

Tapi apa?

Tepat pukul tujuh malam, kami sampai di Goa Tan Tiek Soe. Menurut cerita Zhen selama di perjalanan, Tan adalah tabib yang sangat terkenal pada masanya. Beliau disinyalir bisa mengobati segala macam penyakit, dari mulai ringan hingga berat sekalipun dan tanpa bayaran seperserpun.  Keluarga Zhen sudah menunggu anak semata wayangnya ini di depan pintu masuk gua.

“Terima kasih, Ham,” Zhen memelukku sesaat sebelum pergi menemui orang tuanya. Aku dapat melihat kegelisahan yang terpancar dari wajahnya. Wajah yang sesaat lalu cerita, kini tampak bermuram durja. Gadis itu, masih sempat melambaikan tangannya sebelum memasuki Goa itu. Aku masih bisa melihat senyumnya, yang aku yakin hanya dibuat untuk menentramkan hatiku.

***

“Ikhlaskan, Ham!” Sebuah tangan mendarat di bahuku. Membuyarkan anganku pada gadis itu. “Zhen sudah tenang di sana. Seharusnya bapak menceritakannya dari awal padamu, Nak.” Bapak Zhen menyerahkan sebuah bungkusan putih kepadaku. “Sudah waktunya.”

Tanganku kian bergetar. Aku memeluk bungkusan itu sesaat. “Kenapa secepat ini?”gumamku.

Zhen, disinyalir menderita autisme. Sedari kecil, dia diisolasi di Gua Tan Tiek Soe. Orang tuanya berharap agar dia bisa sembuh seperti anak-anak seusianya. Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Keluarga Zhen teramat bersyukur, bisa melihat tumbuh kembang puteri semata wayangnya hingga umur dua puluh lima tahu. Padahal dokter sudah memfonis bahwa Zhen tak akan bisa bertahan lama dengan keadaan seperti itu.

Hugh…

Aku berjalan menuju tempat yang dipintanya dulu. Merasakan deburan ombak dan menyaksikan indahnya pelangi sekali lagi. Ini adalah sebuah keberuntungan dan tentu sebuah kepahitan yang harus kurasakan. Telapak tanganku serasa membeku ketika merasakan abu putih itu. Jemari  ini terasa kaku saat menerbangkan abunya di hamparan laut lepas.

“Zhen, apakah kamu tahu perasaanku saat ini? Jika kamu bisa merasakannya dari sana. Inilah janji yang telah aku penuhi kepadamu. Janji pelangi yang mengiringi kekasih hatinya pergi.”

Sekali lagi, hantaman ombak itu selaksa memecah keheningan yang menyelimuti hati ini. Pelangi yang tadinya muncul dalam hitungan menit pun akhirnya ikut menghilang. Sungguh, ketika jiwa telah kembali kepada-Nya. Tak ada sedikitpun alasan untuk menolak takdir dan kehendak yang telah digariskan pada kehidupan kita.

“Selamat jalan, Zhen.”
_____________________________________________________________________
Cerpen ini terpilih sebagai juara 3 lomba cerpen Festival Sastra Migran Indonesia ke VI yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena Hongkong. Alhamdullilah juga telah terbit di Koran Berita Indonesia yang ada di Hongkong. 

Hadiah Lomba Public Speaking dan Lomba Cerpen FSMI VI


Suatu anugrah dan rejeki, soalnya dapat hadiah tabungan BRI senilai Rp. 250.000. Plus hadiah menarik lainnya. Seperti tropi dan bingkisan buku. Lumayan, buat isi rak perpustakaan "Lentera Qalbu" di rumah. 

Cerpen ini terinspirasi oleh salah satu wisata pantai "Banyu Mulok"  yang ada di Tulungagung. Tepatnya di selatan kota, arah Pantai Popoh Indonesia Indah. Dan untuk Goa Tan Tiek Soe ini berada di kawasan Tenggara kota. Dua tempat ini sangat fenomenal sekali bagi warga tulungagung. Untuk cerita lengkap kedua tempat ini nanti saya akan bahas di lain kesempatan.

Terima kasih buat FSMI dan Berita Indonesia. Semoga ke depan semakin jaya plus bisa menyalurkan bakat terpendam bagi Para Pekerja Migran Indonesia di Hongkong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER