Selasa, 10 Desember 2013

Dandelion


Cerpen pertamaku yang pernah terbit di sebuah surat kabar berbahasa Indonesia di Hongkong. Sebuah inspirasi dari J - mantan temanku. Selamat membaca


     Rerintik hujan masih saja tercurah dari angkasa. Menyisakan butiran-butiran bening yang menghiasi kaca jendela. Dingin, sepi dan senyap, sepintas sepoi angin menyapa jiwa yang kian membeku. Aroma lembab begitu kental terasa, hampa tanpa hadir sosoknya, sosok pria yang sebulan ini telah pergi meninggalkanku dengan alasan yang tak jelas.

      Terdiam diatas tumpukan kertas, mencoba mengukir kata menggoreskan makna tapi sia-sia, aku tak bisa menulisnya. Tanganku serasa menggigil, bukan karena dingin yang menyapa melainkan bayangan pria yang kurindu tengah menari-nari dipelupuk mataku, menyisakan pedih yang teramat mendalam setiap kali membayangkan kata-kata pria itu yang menyuruhku pergi dan melupakannya untuk selamanya.

 ''Apa aku bisa dengan mudah melupakan sosoknya yang telah bersamaku setahun ini, bukankah itu hal yang sangat mustahil ku lakukan?'', rintihku dalam sepi.

   Sudah beberapa hari aku tak tidur hanya karna memikirkan pria itu, sikapnya begitu membuatku terpukul, ''Beginikah cara lelaki menggoreskan belatinya pada hati wanita? '', batinku dalam hati. Setitik airmata mengalir membasahi pipiku. Membuat mataku yang sipit bertambah sipit. Aku tak pernah merasa dunia sekejam ini sebelumnya, setidaknya sebelum aku mengenal Tian, pria yang berbeda akidah denganku.

   Cinta itu memang kejam, menumbuhkan rasa ditempat yang tak semestinya tumbuh. Kuakui aku menyukainya tapi pertentangan itu membuatku bingung haruskah hubungan ini berlanjut atau harus kurelakan hanyut bersama kenangan indah bersamanya.

                                       ***

 Pagi ini hujan telah mereda, menyisakan buih pada dedaunan dan kuncup-kuncup bunga. Aroma lembab juga masih terasa, tak ada sinar mentari karna mendung belum juga beringsut pergi. Menikmati pagi bersama nyanyian pipit dan semak ilalang yang bergoyang oleh siualan angin. Dingin, masih jua terasa menjalar ke dasar hatiku. Kusambut pagi tanpa sapanya lagi, tulisan yang kurindu dan celoteh yang selalu ku tunggu. Kini hilang, tenggelam bersama sosoknya. Ku langkahkan kaki menghirup udara segar di taman, mencoba menghapus semua kenangan tentang Tian, walau tak kesemuanya mampu kuhapus. Aku masih membayangkan sosok Tian dis ini, di sampingku sambil menceritakan kehidupan di luar sana, miris memang tak kutemukan sosoknya dalam bayanganku.

 '' Pagi Nona ? '' sapa seorang lelaki yang tak ku kenal dan nyaris membuat jantungku copot.

 '' Ini ada sebuah bingkisan dari seseorang untuk Nona '', lanjutnya sambil menyerahkan karangan bunga Dandelion dan sekotak makanan. Aku terdiam menatap pria itu, dia hanya tersenyum dan melangkah pergi tanpa menghiraukan ucapan terima kasih dariku. Ku tatap kembali karangan dandelion dan sepucuk surat di dalamnya.

  Dear, 

 Aku merindukanmu lebih dari biasanya, sungguh aku tak mampu menjalani hidup seperti ini, kau tau aku tersiksa mungkin kau juga merasa hal yang sama. Setiap aku menatap dandelion-dandelion itu aku selalu mengingatmu. Aku sengaja memetiknya sendiri pada hamparan ilalang di tengah sawah, kau tau itu tak mudah bagiku.Oh ya,jangan lupa makan nasi goreng itu, aku membuatnya kusus untukmu, tanpa telur tentunya. Salam sayangku

 Tian 

 Air mataku berguguran setelah membaca pesannya. Pria itu masih merindukanku, masih merasakan hal yang sama dengan apa yang ku rasa saat ini. '' Ah,Tian '', isakku lirih sambil memeluk karangan bunga dandelion.

 ***

 Tiga bulan berlalu begitu cepat sejak perpisahanku dengan Tian, aku mulai terbiasa tanpanya disampingku. Kunikmati hidup dengan penuh suka cita bersama karangan bunga dandelion yang Tian kirimkan tiga bulan lalu, beruntung aku menemukan cara untuk membuatnya keras dan tak bisa layu. Kutatapi karangan dandelion yang menghias di samping jendela. Sekarang tak ada angin yang bisa menerbangkanya dengan mudah. Tak ada yang bisa melepaskan anak-anak dandelion dari ibunya. Ya, bunga dandelion nampak begitu indah dan aku sangat menyukainya, di luar nampak rapuh namun tersimpan ketegaran yang cukup kuat bagi seputik dandelion.

 '' Dretz, Dretz'', getar ponselku menyadarkanku dari lamunanku bersama dandelion. Kubaca isi pesan dari nomor yang tak kukenal itu dengan seksama.

 '' Deg'', degub jantungku serasa berhenti seketika. ''Tian koma'', baris terakhir dari pesan singkat itu. Tanpa pikir panjang aku berlari pergi dari rumah menuju ke sebuah alamat yang dikirimkan oleh orang yang tak kukenali tadi.

Butuh waktu satu jam untuk sampai ke Solo, alamat yang ditunjukkan orang yang tak kukenali lewat pesan singkatnya. Perasaan kawatir begitu menyerbak dalam jiwaku. Akhirnya setelah berputar-putar keliling kompleks kutemukan juga alamat rumah yang tertera dalam pesan singkat tadi. Rumah ini tampak sederhana di halaman depan rumahnya tampak bertebaran bunga Dandelion, bunga kesayanganku.

 '' Silahkan masuk Nona '', kata seorang pria dari arah belakangku. Pria ini yang tiga bulan lalu menemuiku di taman samping rumah. Kuikuti langkah pria ini memasuki rumah yang bertaburan dandelion, tak ada satu bunga pun kecuali dandelion. Di dalam rumahnya pun bertebaran dandelion berkaca, sungguh pemandangan yang mendamaikan hati.

 '' Silahkan masuk Nona'', kata pria ini sambil membukakan pintu. Pemandangan yang sungguh menyesakkan hati, pria yang ku sayangi tergeletak lemas tak berdaya, wajahnya begitu pucat, tak ada senyum yang menghias diwajahnya.

 '' Tian '', batinku pedih. Kuberanikan langkahku menghampirinya, pria tadi meninggalkanku berdua bersama Tian. Mataku berkaca-kaca melihatnya, pria ini tetap tampan dalam keadaan apapun. Butiran bening menyembur dari pelupuk mataku. Aku terdiam dan menangis cukup lama, ini salahku karna tak memahami keinginanya.

 '' Tian '', tangisku kian membuncah.

 '' Hey aku nggak papa, kenapa kau menangis ?'', katanya tiba-tiba, lalu dia pun bangun dan duduk bersender di ranjang. Mataku mengerjap-ngerjap tak percaya, bagaimana bisa manusia yang sedang koma bangun dan menggerakkan tubuhnya dengan mudah layaknya manusia tanpa penyakit, bukankah itu hal yang sangat aneh ? kuusap kedua mataku untuk meyakinkan aku tak sedang bermimpi.

 '' Hei.... kau kenapa? Ada yang aneh dengan diriku ? '', lanjutnya sambil tertawa renyah. Aku diam beberapa saat, Tian pun akhirnya ikut diam memandangiku. '' Hei...... Aku hanya bercanda sayang'', katanya memecah kebisuan.

 '' Kau jahat Tian, jahat '', kataku setengah berteriak sambil memukuli dada bidang tanpa ampun, Tian hanya meringis menerima perlakuanku. Dan selang beberapa saat Tian memelukku.

 '' Maafkan aku sayang, maafkan aku karna terlalu banyak menyakitimu'', bisiknya lirih ditelingaku. Pelukannya sangat hangat, kehangatan yang sangat kurindukan, aku menangis dalam peluknya. Tian mengangkat wajahku yang telah basah oleh air mata. Senyumnya mengembang dan itu mendamaikan hatiku. Tian mengusap lembut dan mencium kedua mataku secara bergantian.

 '' Dandelionku, tetaplah di sini, di hatiku. Biarkan cinta ini mengalir sesuai arus air. Biarkan Tuhan yang menjawab takdir kita. Walau aku dan kamu beda, aku masih berharap Tuhan mengijinkan kita untuk hidup bersama'', lanjutnya dan membenamkan tubuhku dalam peluknya. 

Dandelion itu telah menebar benih-benih cinta di dalam hatiku dan hatinya, menjadikannya sebuah rasa yang sulit untuk dicerna. Kadang kala cinta itu buta, dia datang dan menaruh rasa pada siapapun yang diinginkannya tanpa mengenal kasta dan marga. Tak ada yang salah dengan cinta, seharusnya tak perlu ada jarak dan pemisah walaupun itu sebuah akidah, bukankah tak ada manusia yang bisa menebak dia akan terlahir seperti apa, siapa dan bagaimana dia diturunkan! Seharusnya tak ada yang salah dengan semua ini.

Aku mencintainya lebih dari siapapun, Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER