Senin, 07 April 2014

Cinta Terlarang

Aku masih termangu di tempatku berpijak. Di bawah gedung raksasa yang menjulang tinggi, hingga hampir menembus tapal batas pekatnya azura di atas sana. Untuk kesekian kalinya azura nampak murung ketika aku menjejakkan kaki di tempat ini. Tampaknya, azura tak sedang bersahabat menyambut kedatanganku. Pekat legamnya menambah suram suasana hati yang tengah dirundung nestapa. Tak ada lagi rona kedamaian ataupun keteduhan yang kulihat. Berkali-kali kutatap kilatan halilintar yang sekelebat merambat. Bergemuruh walau sesaat. Seolah, fenomena alam siang ini mewakili rasa pedih di ulu hati. Menahan luka atas kepergian wanita yang teramat sangat kukasihi, satu bulan lalu. Kini, semua nampak berbeda, terasa hampa kala keputusan itu diketuknya. Sosok yang biasanya lembut berubah menjadi seorang hakim yang tegas dan menakutkan bagi kehidupanku. Kebahagiaan yang sempat kutanam dicabutnya dengan paksa. Wanita itu sungguh tak punya perasaan. Jiwa ini serasa tercabik-cabik menerima semua perlakuan itu. Tapi apalah daya, takdir ini tak bisa kutolak. Bahkan, untuk menjadi orang yang tepat baginya pun aku tak mampu. Dia tak mungkin bisa menjadi rusukku. Garis hidup ini menentang keinginan dan harapanku. Tuhan tak pernah setuju tentang jalan yang kupilih. Mencintai orang yang tak seharusnya kucintai.

Berkali-kali, bisik lirih sang bayu mencoba mengusirku dengan kedinginannya. Menyuruhku pergi melepas kenangan yang sempat bersemayam dilubuk hati, di tempat ini. Hembusannya seolah mencemooh kedunguanku yang terlalu banyak memikirkan wanita yang telah menancapkan belati kata itu di jantungku. Apalah daya, aku tak bisa menerima semua perlakuan ini terhadapku. Semua perjalanan waktu yang aku lalui bersamanya sungguh tak mudah untuk dilupakan. Kebahagiaan sesaat yang sempat menyapaku terlalu dalam tersemat di memori. Bayangan itu, seolah datang dan pergi sesuka hati. Dengan syahdunya menyusup ke pembuluh nadi. Menjalar, menggerogoti diri. Mengoyak raga. Menghujam sukma yang tengah kukuatkan agar tak terjatuh kelembah yang sama untuk kesekian kalian. Dia, wanitaku, pilihan terakhir yang pernah kumiliki.

***

''Andra...!'' seru seorang wanita yang sedari tadi kutunggu. Nafasnya tersengal, ketika dia berlari menghampiriku. Butiran peluh bercucuran menghiasi wajahnya yang oriental. Aku pun tersenyum menatap tingkah polahnya yang masih seperti anak kecil. Wanita dihadapanku ini memang selalu terlihat sempurna di mataku. Walau sejatinya, dia tak akan pernah menjadi sempurna dihidupku.

''Minumlah,'' kusodorkan sebotol air mineral yang langsung diraih dan diteguknya. Kekeringan telah mendera kerongkongannya. Dan secepat kilat air itupun habis.

''Huh, maaf telat. Kerjaanku cukup banyak hari ini,'' katanya yang kujawab dengan sebuah anggukan. Aku telah cukup mengerti tentang kebiasaan terlambatnya itu. Bobo, wanita paruh baya yang dijaganya itu selalu menambah daftar pekerjaan dikala libur.

''Ada yang ingin aku omongin sama kamu, Ndra.'' Wanita ini menarikku ke tengah zebra cross. Pembatas antara jalur kanan dan kiri. Tepat di tengahnya kami berhenti. Hilir mudik kendaraan yang melintas tak mumbuatnya memilih untuk maju dan melangkahkan kakinya.

'' apa yang ingin kamu katakan ?'' kualihkan pandanganku sejenak menatapnya. Wanita ini masih tetap membisu. Meneguk ludahnya, lalu menatapku.

''Aku rujuk dengan mas Hilman,'' katanya dengan pasti. Seketika, mataku mebulat mendengar ucapannya. ''Aku akan pulang ke Indonesia dalan waktu dekat.  Semoga perpisahan ini menjadi pilihan terbaik yang pernah aku buat untuk kita, Ndra,'' paparnya lagi. Aku semakin  mematung mendengar ucapan wanita dihadapanku ini. Pukulan maha dahsyat seolah dia layangkan tepat mengenai jantungku. Menghentikan aliran darah hingga beku. Aku diam membisu menatapnya. Tak ada kata lain selain airmata yang tiba-tiba bergulir membasahi pipi. Sesak. Sungguh sakit hati ini dibuatnya.

"Jangan menangis kumohon," pintanya sambil menggenggam tanganku. Kami saling memandang satu sama lain dan terdiam cukup lama.

''Kamu lihat elang itu?,'' pandanganya beralih, menunjuk seekor burung yang tengah meliak-liuk diangkasa. ''Ketika dia pergi dari sarangnya, dia tak pernah lupa untuk kembali pulang menemui anak-anaknya,'' dia menatapku sesaat. Menelangkup wajahku yang tengah basah oleh airmata. "Percayalah. Dari dahulu sampai sekarang. Esok ,lusa bahkan sampai kapan pun kenangan tentangmu akan abadi dalam hatiku. Kumohon, Ndra. Jangan menangis. Ini jalan terbaik buat kita.''

"Jalan terbaik katamu?'' selaku. Terbaik untukmu, nggak buat aku,'' bentakku padanya.

''Cinta kita ini nggak akan pernah abadi. Kamu tau itu kan?'' katanya berusaha menenangkan jiwaku. Tangan halusnya mencoba menghapus setiap tetesan airmata yang tak berhenti mengalir. Kukibaskan tangannya dari wajahku.

''Secepat itukah semua ini berlalu, ha...!''  Wanita ini menatapku lekat-lekat. Tersenyum. Mengangguk pelan. Ada rasa sesak saat dia tersenyum padaku.

''Suatu saat kamu juga harus menikah,Ndra. Merawat suamimu. Mendidik anak-anakmu. Aku tak bisa memberikan semua itu padamu,'' wanita ini pun akhirnya menangis. Baru pertama kali ini aku melihat menangis dihadapanku.

'' Jangan pergi! kumohon,'' pintaku dalam isak.

''Suatu saat kamu pasti mengerti, kenapa aku memutuskan hubungan kita. Cari kebahagiaanmu, sayang.'' Kupeluk wanita dihadapanku dengan erat. Berharap dia tak meninggalkanku sendiri. Wanita ini bagai candu dalam kehidupanku. Aku tak tau bagaimana jadinya aku tanpa dirinya. Tangisku kian membuncah seiring dengan derasnya air hujan.

***

Gelegar halilintar menyadarkanku dari putaran kenangan yang sesaat lalu tersirat dimemori. Membawa ruh ini kembali dari alam bawah sadarku. Rasanya, jiwa ini ingin berontak. Keadilan yang kuharap tak jua datang menghampiri. Pekatnya azura masih menangis bersamaku. Menghantam tubuhku hingga jatuh tersungkur. Aku terus menangis bersama hujan. Menikmati setiap rinainya hingga jiwa ini dipenuhi rasa sesak.

''Ran...!'' teriakku sembari menantang hujan. Aku menangis tergugu di tengah hiruk pikuk lalu lintas jalanan. Semuanya lenyap tak tersisa. Bayang masa lalu itu tak mampu lagi kurengkuh. Aku tertunduk menatap bayangan diriku. Betapa diri ini berlumur dosa. Kututup wajahku. Berharap hujan mampu menghapus segala dosa ini dari hidupku. ''Aku malu, Tuhan,'' rintihku.

''Andra...!'' kudongakkan wajah mencari sumber suara yang memanggil namaku. Seorang wanita yang kukenal, kini berdiri dihadapanku. ''Astagfirullah, Andra?'' lanjutnya setengah terkejut. Wanita ini mencoba mengangkat tubuh lunglaiku. ''Ayo pergi nanti kamu sakit,'' cemasnya. Dia berusaha memapah dan membawaku berteduh tapi ragaku menolaknya. Aku masih ingin berada di tempat ini. Sendiri.
Sekilas, kutatap wajahnya yang terlihat cemas melihat kondisiku yang kuyup. ''Sudahlah, Ndra. Ran sudah bahagia bersama suaminya. Sampai kapan kamu akan seperti ini terus?'' katanya tegas. Wanita dihadapanku ini adalah sahabat Ran. Setelah kepergian Ran hanya dialah yang mencoba membuatku bangkit dari keterpurukan. Menarikku dari jurang kesesatan. Memberi pengertian atas cinta terlarangku yang tak mungkin bisa disatukan oleh keadaan apapun. Tya, wanita ini sungguh tak pernah lelah menemani dan mengajariku tentang arti hidup yang sebenarnya. Kulihat  wajahnya yang memelas, memintaku bangkit bersamanya.


Dan akhirnya, aku pun mengikuti langkah wanita berhijab ini. Pergi meninggalkan jejak luka yang selama ini membelenggu diri. Mungkin benar kata orang, mencintai bukanlah suatu kesalahan. Karena, cinta itu bisa timbul kapan saja, di mana saja dan pada siapa saja. Tak terkecuali padaku. Namun, aku salah menempatkan rasa itu. Salah karena mencintai orang yang jelas-jelas telah dilarang oleh agamaku. Membuat lubang kesesatan dalam kehidupanku. Dan dengan bodohnya masih mempertahankan hubungan yang tak mungkin bisa disatukan oleh waktu. Seperti cintaku ini pada sejenisku yang terlarang karena timbul oleh serangkaian pelampiasan hawa nafsu.
Readmore → Cinta Terlarang

Rabu, 26 Maret 2014

Beli Keripik Tempe

Pagi ini, jam 9:30 aku berhenti di sebuah toko indonesia, AON. Begitulah nama tokonya. Singkat cerita

''Keripik tempe enak di Alfa Indo mbak'', ujarku padanya.

''Emang Alfa dimana? ''

''Di pasar belakang.''

''Ah, jauh. Ndak ada waktu mbak. Wong mau tak kirim ke Indo kok,'' sambil terheran-heran aku memandangnya. La wong itu produk Indo kok mau dikirim ke Indo. Maima.....

Readmore → Beli Keripik Tempe

Kamis, 27 Februari 2014

Siu Change

Siu Chang'e

 Semburat malam menghias angkasa, melukis pesona alam di puncak azura. Sekelebat kerinduan melintas dalam angan, menyisakan tanya pada indahnya cahaya yang senantiasa berganti setiap harinya.
"Dimana mereka? Kenapa mereka begitu kejam dan memilihku untuk lahir ke dunia dengan keadaan seperti ini", kata-kata yang selalu ku ucapkan saat kerinduan itu membuncah melebihi isi batin ku. Butiran bening menyeruak dari ujung mata, pedih jua terasa dalam batin yang tengah meronta. Tak tau sampai kapan purnama di atas sana dapat ku lihat. Purnama yang masih nampak pucat dan sesekali terhalang mega yang sepintas menyapanya. Ku seka airmata yang masih mengalir membasahi pipiku, menghempaskan sesak yang menyeruak dalam dada.

"Ayah... Ibu... apa kalian melihatku dari atas sana? Apa kalian tak merindukanku walau sedetik saja...", jeritku dalam hati. Ku tarik kedua lututku dan membenamkan wajah diantaranya. Ku terisak dalam gelap malam, dalam pendar purnama yang kian menembus batas kerinduan.

" Siu Chang'e...", sebuah tepukkan pelan menyadarkanku dari isak panjang malam ini. Ku angkat  wajah dan ku tatap seraut wajah yang nampak menua dimakan usai. Kerutan di keningnya begitu mempertegas jalan panjang yang telah dia lewati.

" Kau menangis, Nak?", lanjutnya yang langsung duduk dihadapanku. Wanita tua ini menghapus airmata yang membasahi pipiku dengan telapak tangannya yang kasar. Rona kasihnya begitu mendamaikanku kala sepi menghampiri.

" Chang'e kangen ayah dan ibu, Nek", kataku yang langsung memeluk wanita tua ini yang tak lain adalah nenek ku. Orang yang selama ini dengan tulus menjagaku, memberikan segenap kasihnya untuk merawatku. Kali ini aku benar-benar menangis, menangis dipelukan nenek.

"Nenek tau Chang'e, tak ada anak yang tak merindukan kasih sayang orang tuanya begitu pun sebaliKenya, tak ada orang tua yang tak ingin melihat pertumbuhan anaknya.

" Tapi mereka meninggalkanku, Nek", sela ku yang masih sedikit terisak.

"Ssssuut... Jangan pernah bilang seperti itu. Kau lihat bulan di atas sana, Nak", kata nenek sambil menunjuk purnama yang bertengger indah di puncak azura. " Kau lihat itu? ayah dan Ibu mu ada disana. Melihat mu tumbuh agar kau menjadi wanita yang mandiri nantinya. Ayah dan Ibu mu akan sedih bila melihat mu menangis, kau tak mau ayah dan Ibu mu sedih juga kan?", lanjutnya sambil mengusap lembut rambut ku yang tergerai panjang, aku pun mengangguk pelan tanpa kata. Sesaat, ku pandangi wajah purnama yang nampak bercahaya dengan terang, tak seperti tadi yang terbelenggu oleh sekelompok barisan mega.

" Ayah... Ibu... " rintihku dalam hati. Ku meringkuk dalam dekapan nenek yang hangat. Memejamkan mataku yang sembab oleh airmata. Sayup-sayup ku dengar nenek bernyanyi,  mendendangkan syair indah yang belum ku dengar sekali pun. Nenek mengusap lembut keningku, sesekali nenek mengurut pelan kaki ku, memberikan ramuan malam sebelum aku tidur. Dan malam ini, aku benar-benar terlelap dalam buaian malam, pada semilir Bayu yang menyapa gelap, pada simpul bambu yang menjadi benteng kehidupanku. Disini, di gubuk nan sepi. Di sebuah negri yang terkenal dengan sebutan " Negri Tirai Bambu.

                          ***

Hangat mentari pagi memaksaku bangun dari lelap panjangku. Sinarnya tengah berlomba-lomba menyilaukan mata, masuk dari celah-celah anyaman bambu dari luar gubuk kecil rumahku. Aku terduduk sejenak, menyingkap selimut yang menghangatkan tubuhku. Awal bulan Januari yang dingin, sedingin hariku tanpa dekapan Ayah dan Ibu. Ku hela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ku pandangi sejenak kedua foto hitam putih yang menempel pada dinding kayu itu. Nenek bilang mereka adalah orang tuaku, orang tua yang saat ini berada di Bulan, tempat mereka tinggal. Rasa haru kadang muncul dalam benakku, ayah dan Ibu masih sempat memberi ku nama Chang'e yang berarti dewi Bulan. Seorang dewi yang cantik dan menjadi dewi yang hidup kekal di Bulan. Namun, semua itu berbanding terbalik denganku. Hidupku tak seperti bulan yang bersinar terang kala malam datang. Yang selalu ditunggu manusia dan binatang malam untuk berdendang bersama menikmati setiap detik yang berlalu. Kebanyakan mereka mengucilkanku, mencemo'oh keadaanku yang tak normal. Membuatku seperti binatang yang enggan mereka sentuh bahkan tidak sekali pun mereka mempedulikan ku. Hidupku, tak lain hanya bergantung pada obat-obatan yang setiap saat harus ku minum. Aku tak tau penyakit apa yang sedang menggerogoti tubuh.

" Huh...", lenguhku. Ku coba bangkit dari dipan dengan merayap. Lututku terasa lemas untuk berdiri, bahkan tanganku sesekali gemetar seperti tak ada tulang yang menlekat di dalamnya. Ku merangkak perlahan, mengambil segelas air yang ada di atas meja.

"Prangggg......" gelas itu jatuh ke lantai saat ku coba meraihnya. Beberapa pecahan kacanya menggores kulitku. Mengalirkan darah segar yang enggan berhenti.

" Astaga, Siu Chang'e...!",teriak nenek yang kaget melihat kondisiku saat ini. Baju ku basah kuyup oleh air bercampur darah yang terus. saja mengalir dari tangan kakiku. Dengan sigap nenek membebat lukaku dan menggendongku yang telah lemas di pundaknya. Bibirku tak mampu menjerit bahkan berkata pun tidak. Hanya airmata yang mengalir dari ujung mataku.

Aku tak tau berapa lama nenek berlari menggendongku. Melewati hamparan ilalang yang membentang di lereng perbukitan. Membawaku sesegera mungkin ke tempat pak Kuwu, seorang tabib tersohor yang ada di perkampungan kami. Sesekali, nenek terbatuk-batuk, mengusap peluh yang mengucur deras membasahi tubuhnya. Aku yang tengah terkulai lemas hanya mampu menatap nanar dari balik punggungnya. Kekhawatiran itu terlihat jelas dari sorot matanya yang sayu

Beberapa saat kemudian, sampai lah aku di tempat pak Kuwu. Nenek segera menidurkanku di atas dipan panjang yang telah tersedia untuk orang-orang sakit, disampingnya terdapat dupa yang aromanya begitu menusuk indra penciumanku. Beberapa ramuan traditional dibubuhkannya pada tubuhku yang penuh luka. Perihnya menjalar ke ubun-ubun, membuat kepalaku berdenyut hebat, nafas ini sedikit berat ku hembuskan. Aku pun terkulai lemah, mataku terasa berat dan aku pun terlelap dengan rasa perih yang masih menjalar dalam tubuhku

                                          ***

Hari berganti Bulan berlalu, ku pandangi wajah Rembulan yang bersandingkan bintang-bintang dengan rasa kagum tanpa batas. Tak terasa kini usia ku sudah menginjak dua belas tahun Fase pendewasaan yang tak terasa begitu cepat ku lalui. Aku sudah banyak tau tentang riwayat kedua orang tua ku dan kenapa mereka pergi meninggalkan ku dengan segala keterbatasan yang ku miliki. Mereka tak sedang berada di Bulan seperti cerita nenek dahulu melainkan mereka ada di Surga, tempat mereka bersemayam selamanya. Beberapa bulan lalu sebelum nenek meninggal, nenek membawaku ke makam ayah dan ibu di lereng bukit. Disana nenek bercerita tentang siapa ayah dan Ibu, kenapa aku harus minum obat yang sangat banyak setiap harinya, kenapa orang-orang mengasingkanku di hutan tanpa ada yang mau menjamah gubuk tempat dimana aku bernaung. Ternyata Oi Chi Pheng atau virus HIV/AIDS telah bersemayam dalam tubuhku sejak aku lahir ke dunia. Sebuah penyakit yang paling ditakuti dan menjadi momok yang paling mengerikan di kampung kami. Sebagian mereka menganggapnya sebuah kutukan yang harus disingkirkan. Walau begitu aku sangat bersyukur karna diberi kesempatan untuk melihat alam ini. Sebagian mereka memang mengucilkan ku namun sebagian lagi datang memberi ku sejuta harapan. Harapan untuk tetap bisa bernafas dan menyambung hidup di dunia yang penuh warna. Harapan tentang kasih yang tercurah dari tangan-tangan lembut itu. Harapan dalam sebuah penantian ketika Ruh ku terlepas dari raga ku.


Thanks to my best friends Biyu zhi zaidul :v
Dan koran Kindo yang sudah berkenan menerbitkan kedua karyaku, sukses buat Kindo dan semua orang yang telah memberiku semangat
Readmore → Siu Change

Di Bawah Sajak Rinduku

Terkadang, aku ingin mentari tetap diam di ufuk senja
Atau bumi ini yang berhenti berputar saja untuk sepersekian detik

Aku pernah berharap seperti itu
Namun sayang waktu tetap melaju
Tanpa membiarkan otak-otak manusia untuk beristirahat dahulu

Ya, semua tetap berjalan di atas tumpuannya
Tak ada yang berubah dibalik wajah ramah

Mungkin aku bosan dengan semua ini
Tapi, cukup kamu yang tahu aku sayang
Kita mati hanya satu kali
Dan akan hidup untuk yang kedua kali

-----Di bawah sajak rinduku----
Readmore → Di Bawah Sajak Rinduku

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER