Rabu, 27 Mei 2015

Aku (Soe Hok GIe), Puisi Dan Orang-Orang Yang Berbaik Hati

Gie



Minggu kemarin, tepatnya tanggal 10 Mei 2015 adalah hari yang kesekian aku berdiri di atas panggung kreasi. Bukan untuk mengambil hadiah sih, hanya untuk membaca sebuah puisi yang kubuat sendiri. Nervous, deg degan dan segala macam penyakit demam panggung itu merasuk begitu saja dalam diri ini. Peluh senantiasa bercucuran, tatkala menunggu waktu yang tak kunjung datang. Menunggu adalah sebuah pekerjaan yang memang menyebalkan. Awalnya aku pikir, semua akan selesai setelah jam 11.00 am dan aku bisa pulang tepat waktu. Ternyata tidak, gegera ada gangguan teknis di sana, terpaksa waktu diulur hingga hampir jam 1:00 pm lebih. Jujur, hari itu aku memang tidak diperkenankan untuk libur, soalnya sudah janji sama majikan untuk makan bersama di rumahnya. Tapi alhamdullilahnya dari waktu yang terlambat itu, Tuhan memberiku sebuah kesempatan dan bantuan.

Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu orang-orang hebat pada hari itu. Seperti Mbak Ryan Aryanti (ketua Aliansi Migran Progresif). Bunda Mega Vristian (salah satu juri lomba puisi) yang sempat aku ajak salaman untuk mengurangi sedikit nervousku. Mbak Ilalang Viktory yang dengan baiknya mau meminjami baju plus memake over wajahku. Mbak Luluk Andriyani yang dengan baik mengajariku cara membaca puisi itu bagaimana. Pak Din seorang guru biola yang ada di Hongkong dan masih banyak yang lainnya yang mungkin tidak bisa aku sebutkan. Mereka semua dengan baik hati mau memberiku semangat dan membantuku dalam pentas siang itu.

Dengan pelukan hangatnya, mbak Ilalang memberiku masukan bagaimana cara membaca puisi saat pentas nantinya. Dia juga memberiku pilihan untuk membawakan puisi bersama instrument biolanya mbak Luluk Andayani atau membawakannya sendiri. Jika kupikir, mana ada orang yang mau membantu seperti itu, dadakan pula. Ah, ternyata pikiranku meleset. Walau aku dan mbak Luluk belum kenal begitu dekat dan hanya sebatas Facebook, ternyata beliau mampu akrab denganku saat pentas kemarin. Alhamdullilah, cukup bersyukur atas semuanya yang Tuhan berikan padaku hari itu.

Harusnya kemarin juga aku bersama Gie, - walaupun hanya kaosnya saja yang mampu bersamaku- ia adalah salah satu orang yang paling membuatku semangat dalam acara kemarin. Namun sayang, aku tak bisa bersamanya dan harus melepaskannya saat detik-detik pementasan. Aku harus rela tak bersama Gie karena harus berganti kostum. Memakai baju pinjaman dari mbak Ilalang. Duh tak kusangka bakal seribet itu. :D 

Bagaimana rasanya tampil di panggung?

Yang jelas nervous banget. Perform pertama yang buruk, menurutku. Aku pikir, membaca puisi ya hanya sekedar membaca saja. Melagukan yang perlu. Dan yah tentunya dengan ekspresi yang mungkin membuat orang merasa tambah terkesimak dengan kita. Ternyata dalam membaca puisi juga membutuhkan penampilan yang memadai. Aku yang sejatinya tidak suka pakai make up, harus bersentuhan dengan peralatan itu. Membuat wajah kalemku menebal. Aku seperti orang aneh pokoknya kalau pakai make up. Hahaha mungkin tidak terbiasa saja. Saat habis pentas dan mengaca rasanya ada yang beda. Ini seperti bukan wajahku. Seperti habis bedah plastik tapi gagal. 

Setelah menunggu waktu yang sejatinya lama, akhirnya apa yang menjadi kewajibanku tiba. Aku masih ingat betul saat mata ini hanya terfokus pada dinding-dinding dan langit-langit yang memang mampu mengurangi sedikit rasa nervous yang kian menyeruak dalam jiwaku. Ah, maklum baru pertama kali. Ya, gitu. Apalagi pas di tengah pembacaan puisi, ponselku mendadak mati. Puh, betapa kelabakannya aku. Secara aku nggak ingat pasti apa kelanjutan puisi yang aku baca, bih rasanya aku pengen minta maaf detik itu juga kepada para penonton. Tapi, aku nggak kekurangan ide, dua bait puisinya aku ulang dan aku tambahi kata-kataku sendiri. Bagi yang sudah merekam pasti tahu, dua bait puisiku ada yang tak ulang kemarin. Lupa kata-katanya, soalnya hanya sekejap melintas di pikiran. Haduh, jan pengalaman yang bisa kuceritakan pada anak dan cucuku nanti.

Sebenarnya. hari itu bukanlah soal piala yang ingin kudapatkan. Aku berharap Tuhan memberiku kesempatan untuk lebih berani dan percaya diri di depan orang banyak. Dan Alhamdullilah kesempatan itu datan menghampiriku.  Sungguh, kesempatan itu hanya datang sekali dan jangan pernah kita menyia-nyiakannya. Seperti halnya waktu yang hanya melintas sekali dalam hidupmu.



-----Piala memang bisa dibeli dan bisa ditulisi sendiri. Piala memang tidak bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup kita nanti. Tapi dengan piala, kita mampu menceritakan dan memperlihatkan kepada orang-orang yang menganggap rendah profesi seorang BMI (Buruh Migran Indonesia) bahwa ini loh kami. BMI yang tak hanya sekedar jadi pembantu rumah tangga di luar negeri. ------

Salam Malam Untuk Kita Yang Jauh Dari Bumi Pertiwi.
                                                                                               *** 
Darah Juang-By Me

Tahun demi tahun silih berganti
Darah juang Raden Kartini
Masih jua bergelora dalam sanubari
Masa-masa Penjajahan itu telah sirna
Berganti cahaya merdeka
Ke seluruh pelosok Nusantara
Namun tidak untuk kaum Hawa

Lihatlah...!
Masih banyak diskriminasi
Mereka dieksploitasi
Dan menjadi perahan tikus-tikus berdasi

Lihatlah...!
Walau segalanya telah berubah
Hak wanita tetap saja dijajah

Apa kau tahu, Bu...

Semangatmu senantiasa mengalir 
Di atas perjuangan kami yang terus bergulir
Tak perduli rasanya sakit
Kami mencoba untuk terus bangkit

Dari sebuah kekangan
Dari sebuah larangan
Dari sebuah keterbelakangan
Dan dari sebuah aturan

Lihatlah, Bu...

Kami terus bangkit..
Mengejar sebentuk harap dan cita
Demi kesejahteraan bangsa

Kami terus bangkit
Di atas kebiadaban penguasa 
Yang merenggut kebebasan kaum Hawa

Di mana hak asasi yang mereka serukan
Di mana kesejahteraan yang mereka elukan

Bu....
Mimpimu.... 
Mimpi kami....
Kobarkan Emansipasi

Bu...
Semangatmu yang tak lekang oleh waktu
Akan terus berkobar
Di dalam setiap nadi
Darah juang ini



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

SEMUA TENTANG MAS KER